Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah pihak menyoroti penyataan Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto yang bernafsu untuk menangkap buronannya, Harun Masiku. Tapi pandemi COVID-19, kata dia menghalangi niatnya itu. Pernyataan ini dianggap hanya retorika, bahkan disebut berbahaya dan menyesatkan.

Dalam konferensi pers yang ditayangkan di YouTube KPK RI, Karyoto mengklaim telah mengetahui keberadaan Harun Masiku dan bernafsu untuk menangkapnya jika diperintahkan. Ia mengatakan, sebenarnya perintah sudah disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri tapi kesempatannya memang belum ada.

"Saya sangat nafsu sekali ingin menangkap kalau diperintah. Waktu itu Pak Ketua sudah memerintahkan, 'kau berangkat' tapi kesempatannya belum ada," katanya kepada wartawan.

Karyoto mengatakan tersangka pemberi suap dalam terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI itu tidak lagi berada di Tanah Air. Hal inilah yang membuat KPK lantas kebingungan untuk menangkap Harun apalagi di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.

"Kita mau ke sana juga bingung karena pandemi sudah beberapa tahun," tegasnya.

Bukan menuai simpati, pernyataan ini justru disoroti banyak pihak. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman bahkan menganggap pernyataan Karyoto tersebut hanya sekadar retorika.

"Itu hanya retorika yang mbulet, tidak jelas. Memang (KPK, red) sejak awal tidak niat menangkap maka yang ada hanya retorika saja," kata Boyamin kepada VOI.

Pernyataan serupa juga disampaikannya untuk permintaan KPK kepada NCB Interpol untuk menerbitkan red notice. Menurut Boyamin, retorika ini jelas terjadi karena nama Harun tak muncul di situs milik Interpol yang diduga akibat masih ada syarat yang belum terpenuhi.

"Sehingga tindakan ini dapat dikategorikan tidak serius dan kembali sebatas retorika," ungkapnya.

Diduga sengaja beri kode untuk Harun

Pandangan berbeda justru muncul dari eks Komisioner KPK Bambang Widjojanto. Ia menduga apa yang disampaikan Karyoto ini merupakan kode bagi Harun yang sedang bersembunyi agar bisa segera menyingkir.

"Klaim sepihak KPK yang menyatakan mengetahui keberadaan DPO Harun Masiku potensial absurd, berbahaya, dan menyesatkan. KPK diduga telah secara sengaja memberitahukan sang buronan untuk segera menyingkir dan menghindar karena penegak hukum sudah tahu keberadaannya," kata BW dalam keterangan tertulisnya yang dikutip.

Alih-alih bingung akibat pandemi COVID-19, menurutnya komisi antirasuah harusnya bisa berkoordinasi dengan penegak hukum lain yang di lokasi Harun bersembunyi jika mereka memang sudah mengetahuinya.

Bambang Widjojanto (Diah Ayu Wardani/VOI)

Lebih lanjut, BW mengaku khawatir apa yang disampaikan kepada publik hanya sebagai upaya seakan mereka tetap bekerja mengejar buruannya. Apalagi, KPK sempat tak bereaksi apapun ketika penyelidik nonaktif mereka, Harun Al Rasyid mengetahui keberadaan eks caleg PDI Perjuangan tersebut.

"Tapi tetiba, (KPK, red) sekarang meracau tahu keberadaan Harun," ungkapnya.

Jika memang kekhawatirannya itu benar, BW menganggap KPK telah melakukan penyesatan dan manipulasi fakta hukum yang sebenarnya. Hal ini, sambungnya, bisa masuk sebagai obstruction of justice atau menghalangi penyidikan kasus korupsi yang sedang dilakukan.

"Karena seolah-olah melakukan penegakan hukum tapi tidak sungguh-sungguh bahkan mengaburkan dan menghalangi proses penegakan hukum yang sebenarnya. Pada situasi seperti itu, KPK secara sengaja dan sadar tengah membangun etalase penegakan hukum yang kelak hanya menciptakan fatamorgana keadilan," tegasnya.

Mengingat lagi perjalanan kasus Harun Masiku

Harun Masiku (Sumber: infocaleg.com)

Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Januari 2020. Penyuapan ini dilakukan agar dia mendapatkan kemudahan duduk sebagai anggota DPR RI melalui pergantian antar waktu atau PAW.

Pelarian Harun bermula saat KPK melakukan operasi tangkap tangan soal perkara ini pada 8 Januari 2020. Dalam operasi senyap itu, KPK menetapkan empat tersangka yaitu Harun Masiku, Wahyu Setiawan, eks Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri.

Hanya saja, Harun yang tak terjaring OTT tak diketahui keberadaannya. Dia dikabarkan lari ke Singapura dan disebut telah kembali ke Indonesia.

Kasus ini bermula dari meninggalnya caleg PDIP yang bernama Nazarudin Kiemas. Pada bulan Juli 2019, partai berlambang banteng itu mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).

Pengajuan itu lantas dikabulkan dan sebagai penentu pengganti antar waktu (PAW), partai berlambang banteng itu kemudian mengirimkan surat pada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti Nazarudin.

Hanya saja, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti saudara ipar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang telah meninggal dunia itu. Jelas alasannya, perolehan suara Riezky berada di bawah Nazarudin atau di posisi kedua untuk Dapil Sumatera Selatan I.

Lobi-lobi kemudian dilakukan agar Harun bisa menjadi anggota legislatif. Melihat celah itu, Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU menyebut siap membantu asalkan ada dana operasional sebesar Rp900 juta dan transaksi pun dilakukan dalam dua tahap di pertengahan dan akhir bulan Desember 2019.

BERNAS Lainnya