Bagikan:

JAKARTA - Persoalan interpelasi Gubernur Anies Baswedan soal Formula E masih bergulir di DPRD DKI Jakarta. PSI dan PDIP mengajukan hak. Anies mengumpulkan tujuh fraksi lain di DPRD. Setelah pertemuan, tujuh fraksi menyatakan menolak interpelasi. Anies mengaku santai. Tapi reaksinya tetap menarik. Kenapa Anies begitu reaktif jika kebijakannya tak bermasalah?

Sebelumnya, kita pahami dulu apa yang dimaksud interpelasi. Interpelasi adalah hak dasar legislatif, yang dalam konteks ini diatur oleh Peraturan DPRD DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2020, tepatnya di BAB VIII tentang Pelaksanaan Hak DPRD dan Anggota DPRD DKI.

Pasal 120 menjelaskan hak interpelasi adalah hak DPRD meminta keterangan pada gubernur mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak dasar yang kenapa tak dituruti saja oleh Anies?

"Interpelasi itu isinya hanya hak bertanya dan meminta keterangan. Jadi sebenarnya hal yang biasa saja. Kenapa menjadi heboh itu kan persoalannya karena politiknya itu. Kecuali hak angket karena di dalamnya ada penyelidikan," tutur pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah kepada VOI, Selasa, 31 Agustus.

Langkah Anies mengumpulkan tujuh fraksi DPRD juga dilihat minor oleh Trubus. Trubus mendorong Anies menjawab interpelasi ini sebagai gubernur, bukan justru menampakkan sikap-sikap khas politik praktis untuk menghindari tanggung jawab sebagai pimpinan daerah.

Kumpul Anies dan tujuh fraksi DPRD (Sumber: Istimewa)

"Harusnya Gubernur enggak perlu panik mengumpulkan tujuh fraksi makan-makan. Kalau ini bertentangan dengan jargonnya sendiri kan yang selalu seakan wajib argumentatif. Sampaikan saja secara argumentatif. Dia (Anies) harus tampil sebagai Gubernur yang bertanggung jawab untuk menjelaskan ini," ungkap Trubus.

Lebih lanjut Trubus melihat langkah Anies ngotot menggelar Formula E tak lebih dari caranya memerjuangkan anggaran. Apalagi jika melihat minimnya kesiapan Pemprov DKI, bahkan PT Jakarta Propertindo (Jakpro), pihak yang ditunjuk sebagai penyelenggara.

"Saya lihat Jakpro sebagai pelaksana juga enggak siap. Dirutnya baru. Apalagi enggak ada pengalaman sama sekali dengan Formula E. Mereka enggak akan punya kesiapan apa-apa kecuali memerjuangkan anggaran 4 triliun itu."

"Jadi anggaran itu bahasanya untuk bancakan tapi berkedok penyelenggaraan Formula E itu loh. Kalau tidak diselenggarakan juga kan gubernur tanggung jawab uang DP yang Rp400 miliar itu. Ibarat nyeberang sungai sudah basah. Mau balik enggak mungkin."

Apa yang melatarbelakangi interpelasi?

Anggota DPRD Fraksi PSI Justin Adrian mengklaim interpelasi tidak bersifat politis, apalagi dengan niat menjatuhkan Anies. Hanya saja PSI ingin tahu apa yang membuat Anies ngotot menggelar Formula E di tengah defisit anggaran dan kesulitan di tengah pandemi.

Ada tiga kejanggalan yang ditemukan PSI. Pertama soal Pemprov DKI yang belum melaksanakan revisi studi kelayakan (feasibility study/FS) Formula E, sebagaimana rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, soal nasib bunga pengembalian commitment fee.

"Pembayaran fee Rp 560 miliar dilakukan sejak 1,5 tahun yang lalu, sehingga uang mengendap dan menghasilkan nilai bunga. Kami telah berkali-kali menanyakan nasib uang bunga ini di berbagai rapat DPRD dengan eksekutif, tapi Pemprov DKI terkesan menghindar tanpa penjelasan," tutur Justin, dihubungi VOI, Selasa, 31 Agustus.

Ketiga, mengenai kewenangan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) untuk membayar fee Formula E. Padahal kontrak penyelenggaraan Formula E adalah antara BUMD PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Formula E Operations Limited (FEO).

"Namun demikian, Dinas Pemuda dan Olahraga adalah pihak yang mengeluarkan uang untuk membayar fee Formula E Rp 560 miliar," kata Justin.

Benarkah ada masalah anggaran?

Soal anggaran jadi krusial. Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Manuara Siahaan menyebut ada potensi pemborosan anggaran hingga Rp4,483 triliun selama lima musim gelaran Formula E. Maka interpelasi ini ia anggap forum yang tepat untuk Anies menjelaskan hitung-hitungan anggaran Formula E yang membebani APBD DKI Jakarta ini.

"Ada potensi pemborosan anggaran Rp4,48 triliun yang terdiri dari commitment fee dengan total sekotar Rp2,3 triliun, biaya pelaksanaan Rp1,2 triliun, dan bank garansi sebesar Rp890 miliar," kata Manuara di Gedung DPRD DKI, Selasa, 31 Agustus.

Manuara menjelaskan hitungan yang ia paparkan tidak merujuk studi kelayakan (feasibility study/FS) Formula E yang sebelumnya pernah dibuat PT Jakpro. Manuara menyoroti studi itu, yang ia katakan tidak memasukkan komponen commitment fee selama lima tahun dan bank garansi. Dengan hitungan PT Jakpro tampak ada potensi keuntungan Rp2,579 triliun.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat bertemu CEO Formula E Alejandro Agag di New York (Foto: Instagram @aniesbaswedan)

Masalahnya commitment fee dan bank garansi tersebut dibebankan dari APBD. Sehingga, mau tak mau harus masuk dalam biaya pengeluaran. Maka ketika komponen commitment fee itu dimasukkan, Formula E justru terhitung potensi merugi.

Dan soal memasukkan commitment fee dalam studi kelayakan itu sudah jadi rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang hingga kini belum ditindaklanjuti oleh Pemprov DKI. "Kalau Formula E dipaksakan di 2022, karena sifat dari perhelatan itu multi-years, maka secara kumulatif nanti di ujung perhelatan akan kelihatan kerugiannya Rp1,3 triliun," tutur Manuara.

Lebih lanjut Manuara mengatakan tujuan dari interpelasi ini adalah agar Pemprov DKI mengalihkan anggaran Formula E untuk program lain yang lebih bermanfaat, terutama di masa pandemi COVID-19.

Apa saja alternatif anggaran dari Formula E?

Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PSI Justin Adrian memaparkan sejumlah alokasi anggaran yang bisa jadi alternatif dari pelaksanaan Formula E. Pertama, akses air bersih yang baru menjangkau 60 persen dan harus dikejar oleh Pemprov DKI Jakarta. "Itupun banyak kebocoran sehingga NRW (non revenue water) kita hampir separuh dari 60 persen itu.

"Minimnya akses air tersebut juga berkontribusi pada penurunan permukaan tanah Jakarta karena keterbatasan akses membuat eksploitasi air tanah dalam semakin menjadi-jadi. Penurunan permukaan tanah, jelas menjadi salah satu kontributor penyebab banjir di jakarta."

Terkait penanggulangan banjir, Justin menyoroti sejumlah hal terkait penambahan kapasitas saluran yang minim, termasuk pelebaran badan sungai. "Khusus penanggulangan banjir, selama Anies menjabat sulit juga kita temukan sungai mana yang sudah tambah lebar, sehingga sekalipun sudah 4 Tahun menjabat, mengelola ratusan triliun APBD, banjir malah semakin sering terjadi."

Persoalan lain adalah sampah Jakarta yang mencapai ribuan ton per hari, kemacetan, polusi, ledakan penduduk, tata kota yang buruk, dan hal lain yang jauh lebih mendesak ketimbang menggelar festival balapan dengan biaya triliunan. "Ditambah lagi varian-varian COVID-19 lain yang belum masuk Indonesia, masih terlalu banyak yang harus Pemprov DKI urus."

Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PDIP Manuara menyampaikan hal senada. Menurutnya besaran anggaran tersebut bisa digunakan untuk menyalurkan jutaan sembako kepada masyarakat yang membutuhkan.

"Kalau angka-angka simulasi itu kita alokasikan bisa untuk 7,4 juta sembako kepada keluarga miskin. Itu selama dua bulan bisa kita suplai," kata Manuara.

Ia juga memaparkan potensi bantuan lain yang bisa dialihkan dari biaya penyelenggaraan Formula E. Uang RP4,487 tiliun bisa dimanfaatkan untuk penyaluran beasiswa dari jenjang SD hingga kuliah kepada 38 ribu anak didik. Uang itu juga bisa jadi stimulus untuk 3,7 juta UMKM dengan masing-masing bantuan Rp1,2 juta.

Atau lainnya, uang itu juga bisa dialhikan untuk membangun 88 sekolah baru atau 44 rumah sakit di Jakarta. "Inilah nilai yang kalau kita konversi, kalau Formula E kita realokasi, kira-kira seperti ini perbandingannya," kata Manuara.

*Ikuti Informasi lain soal FORMULA E atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya