Bagikan:

JAKARTA – Pada Minggu (8/12/2024) dini hari waktu setempat, pasukan oposisi menyatakan Suriah terbebas dari kekuasaan Presiden Bashar Al Assad. Sang mantan presiden dilaporkan telah meninggalkan Damaskus, dan kini berada di Moskow, tempat Rusia menawarkan suaka kepada mereka.  

Runtuhnya kekuasaan keluarga Al Assad setelah lebih dari 53 tahun dianggap sebagai momen bersejarah. Baru beberapa pekan lalu, rezim ini masih memegang kendali di negara tersebut, tetapi kini semuanya berubah.

Pada 27 November, koalisi pejuang oposisi melancarkan serangan besar-besaran melawan pasukan pro-pemerintah. Serangan pertama terjadi di garis depan antara Idlib yang dikuasi oposisi dan provinsi tetangga Aleppo. Tiga hari kemudian, para pejuang oposisi merebut kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo.

Kini, setelah sang mantan presiden melarikan diri dari Suriah, Israel disebut diam-diam senang atas kejatuhan rezim Al Assad.

Dinasti Assad 

Keluarga Assad diketahui memerintah Suriah selama lebih dari 50 tahun dengan tangan besi. Bashar Al Assad baru jadi presiden setelah kematian ayahnya, Hafez, pada 2000. Bashar sebelumnya adalah dokter mata yang belajar di London dan ia tidak memiliki ketertarikan terhadap politik.

Ayahnya justru mengharapkan kakak Bashar, Bassel, sebagai presiden berikutnya. Namun ia meninggal dunia dalam kecelakaan pada 1994 dan Bashar diminta pulang ke Suriah setelah itu, dipersiapkan sebagai penerus dinasti Assad di Suriah.

Agar dapat menduduki kursi presiden, parlemen harus menurunkan batas usia minimal bagi para kandidat, dari yang sebelumnya 40 tahun menjadi 34 tahun. Bashar pun memengani referendum dengan lebih dari 97 persen suara di mana ia adalah satu-satunya kandidat.

Warga merayakan kejatuhan rezim Assad di Suriah. (ANTARA/Anadolu/py)

Awalnya Bashar, yang dikenal sebagai laki-laki pendiam, membangkitkan harapan adanya reformasi, namun ternyata pemerintahannya sangat mirip dengan pemerintahan otoriter ayahnya selama 30 tahun.

Pemerintahan Bashar Al Assad mendapat dukungan politik dan militer dari Rusia dan Iran, serta kelompok Hizbullah Lebanon yang didukung oleh Teheran. Namun pada 27 November kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak sekutu mereka melancarkan serangan besar-besaran di sebelah barat laut Suriah.

Dalam waktu singkat para pemberontak merebut kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo, lalu bergerak ke Ibu Kota Damaskus setelah militer tumbang.

Syrian Observatory for Human Rights mengungkap, tantara Suriah dan pasukan keamanan lainnya menarik diri dari bandara internasional Damaskus setelah Bashar Al Assad dilaporkan melarikan diri dari Suriah.

Meski sempat tidak diketahui keberadaannya, Al Assad saat ini berada di Rusia, tempat ia mendapatkan suaka. Hal ini dilaporkan oleh media pemerintahan Rusia, yang mengutip sumber Kremlin.

“Presiden Suriah, Assad, telah tiba di Moskow. Rusia memberikan suaka kepadanya dan keluarganya atas dasar kemanusiaan,” demikian dikutip Reuters.

Seiring berita pengunduran dirinya, sebagian orang berkumpul di jalan-jalan di Damaskus untuk merayakan runtuhnya rezim Assad. Komandan pemberontak Anas Salkhadi meyakinkan kaum minoritas agama dan etnis Suriah dengan mengatakan: “Suriah adalah untuk semua orang, tanpa kecuali. Suriah adalah untuk kaum Druze, Sunni, Alawi, dan semua aliran.”

“Kami tidak akan memperlakukan orang seperti yang dilakukan keluarga Assad,” imbuhnya, seperti dikuti Al Jazeera.

Bagaimana Suriah Selanjutnya?

Jatuhnya rezmin Assad disebut-sebut kabar gembira bagi Israel. Dalam wawancara dengan Al-Jazeera, wakil presiden eksekutif di Quincy Institute for Responsible Statecraft, Trita Parsi, mengatakan Israel diam-diam senang dengan kejatuhan resmi Bashar Al Assad.

"Di satu sisi, sangat positif bagi mereka untuk memberikan pukulan yang signifikan terhadap Iran, terhadap akses Iran ke Lebanon, dan terhadap poros secara keseluruhan. Namun di sisi lain, apa yang akan terjadi selanjutnya?" kata Parsi di Doha Forum.

Memang, pemerintah Israel lebih memilih Al Assad dibandingkan oposisi karena pemerintahannya tidak menjadi ancaman bagi Israel. Namun Parsi menduga dalam beberapa bulan terakhir perspektif Israel bergeser. Meski demikian, Parsi mencatat ini bukan skenario yang sepenuhnya membuat Israel merasa nyaman.

“Yang jelas mereka memanfaatkannya karena mereka membangun zona penyangga. Tidak ada keberatan dari masyarakat internasional, tidak ada keberatan dari Amerika Serikat. Namun, hal itu sepertinya tidak akan terjadi tanpa pemerintah Suriah yang baru mempermasalahkannya,” katanya.

Kekuasaan 61 tahun Partai Baath di Suriah tumbang setelah ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Assad, Minggu (8/12/2024). (ANTARA/Anadolu/py/am)

Mengenai kemungkinan posisi HTS dan kelompok oposisi lainnya terhadap Palestina, Parsi mengatakan orang-orang di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki secara keseluruhan sangat bersimpati terhadap revolusi Suriah.

“Gagasan bahwa pemerintah Suriah yang baru ini tiba-tiba berpura-pura seolah-olah masalah Palestina bukanlah salah satu masalah terpenting yang menggerakkan seluruh Timur Tengah, menurut saya mengejutkan. Saya sama sekali tidak percaya hal itu mungkin terjadi.”

Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya di Suriah? Tunggu dan lihat, begitu kata para pengamat. Sejumlah analis menyebut ada banyak kemungkinan terjadi di Suriah, seperti juga ada sejumah kemungkinan jebakan jika berbagai pihak tidak bekerja sama.

Pasukan pemberontak Hayat Tahris al-Sham berlatih perang di Provinsi Idlib, Suriah. (Omar Haj Kadour/AFP)

Perdana Menteri Suriah Mohammad Ghazi al-Jalali dalam sebuah video yang beredar menyatakan bahwa kabinetnya siap untuk “mengulurkan tangannya” kepada oposisi dan menyerahkan fungsinya kepada pemerintah transisi.

“Negara ini dapat menjadi negara normal yang membangun hubungan baik dengan tetangganya dan dunia, tetapi masalah ini tergantung pada kepemimpinan yang dipilih oleh rakyat Suriah,” kata al-Jalali dalam pidato yang disiarkan di akun Facebook-nya.

Sementara pemimpin HTS Mohammed al-Jolani mengatakan dalam sebuah pernyataan di media sosial bahwa “lembaga-lembaga publik akan tetap berada di bawah pengawasan perdana menteri sampai mereka secara resmi diserahkan.”