JAKARTA – Rangkaian kasus penembakan yang dilakukan oleh polisi makin ramai diperbincangkan. Sejumlah pihak mendesak agar penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian dievaluasi.
Dalam beberapa pekan terakhir warga dihebohkan dengan penggunaan senjata oleh aparat kepolisian yang dianggap dilakukan di luar yuridiksi. Pertama adalah aksi polisi tembak polisi yang terjadi di Solok Selatan, Sumatra Barat pada 22 November.
Tak lama berselang, giliran seorang siswa SMKN 4 di Semarang, GR, yang menjadi korban. Remaja 17 tahun ini meninggal setelah ditembak peluru tajam oleh polisi yang diketahui bernama Aipda R.
Sampai saat ini, alasan di balik penembakan tersebut masih menjadi teka-teki. Versi polisi, GR meninggal karena terlibat tawuran. Menurut keterangan Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar saat ada dua kelompok terlibat tawuran, muncul anggota polisi yang mencoba untuk melerai. Klaim Irwan, anggotanya melepaskan tembakan sebagai “tindakan tegas” karena ada serangan.
Melihat peristiwa penembakan yang dilakukan polisi dalam waktu bedekatan, wacana agar polisi tidak lagi diberi senjata api mengemuka. Belakangan muncul wacana polisi hanya diberi pentungan, bukan senpi.
First Degree Murder
Tapi keterangan ini berbeda dengan yang disampaikan Kabid Propam Polda Jawa Tengah Kombes Aris Supriyono. Menurut Aris, Aipda R menembak GR karena salah satu dari tiga motor rombongan tersebut memakan jalannya.
Aipda R memarkir sepeda motornya di tengah jalan. Lalu berdiri dalam posisi siagara, mencegat G yang berkendara dengan dua temannya. Aipda Robig kemudian menarik pelatuk senjatanya kepada mereka dari jarak kurang dari dua meter. Itulah yang tergambar dari rekaman CCTV sebuah minimarket di dekat lokasi kejadian.
“Terduga pelanggar jadi kena pepet, akhirnya terduga pelanggar menunggu tiga orang ini putar balik, kurang lebih seperti itu dan terjadilah penembakkan,” tutur Aris dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (3/12/2024).
Perbedaan kronologi yang disampaikan Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar dan Kabid Propam Polda Jateng Kombes Aris Supriyono dikomentari psikolog forensik Reza Indragiri Amriel.
Menurutnya, andai penembakan dilakukan untuk menghentikan tawuran, itu masih ada warna kerja kepolisian. Namun alasan ini pun tetap perlu diperiksa, apakah penembakan itu dilakukan secara prosedural, proporsional, dan profesional, tapi setidaknya penembakan itu dilakukan guna menghentikan peristiwa pidana.
Tapi jika bicara alasan lain, seperti yang diungkap Kabid Propam Polda Jateng Kombes Aris, menurut Reza tragedi ini bermula dari road rage, karena situasi saat itu terduga pelanggar menunggu korban untuk melakukan penembakan.
Road rage sebenarnya bisa dibilang merupakan peristiwa biasa. Contohnya ada pengemudi yang, gara-gara konflik di jalan raya, meluapkan amarahnya dengan main klakson sejadi-jadinya. Ada pula yang menggeber gasnya berulang. Ada juga yang sebatas mengeluarkan sumpah serapah. Yang menakutkan, ada pengemudi yang menodongkan senjata api ke 'lawan'-nya.
“Parahnya, mengacu kronologi yang disampaikan Propam Aipda RZ justru secara sengaja melakukan tembakan ke arah orang yang telah memepetnya. Tidakkah itu bisa dimaknai sebagai -setidaknya- pembunuhan?” terang Reza kepada VOI.
Reza menjelaskan empat unsur terkait hal ini. Pertama, apabila penembakan yang dilakukan oknum polisi itu diarahkan secara selektif dan spesifik ke target tertentu. Kedua, apabila pada jeda waktu antara momen pemepetan dan penembakan, Aipda RZ membangun niat untuk menembak target spesifik sebagai aksi pembalasan.
Ketiga, apabila dia bisa bayangkan efek pada target akibat penembakan itu. Dan keempat, penembakan tertuju ke target spesifik tidak didahului oleh tembakan peringatan ke bagian tubuh yang tidak mematikan.
“Jika keempat unsur itu terpenuhi, maka penembakan oleh Aipda RZ bisa dikategorikan sebagai first degree murder. Sama artinya dengan purposely. Bukan knowingly, recklessly, apalagi negligently,” imbuh Reza.
Wacana Polisi Tanpa Senjata Api
Dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR untuk membahas kasus tersebut, legislator PDIP I Wayan Sudirta membuka wacana supaya polisi tidak lagi diberikan senjata api. Katanya, polisi di sejumlah negara maju hanya diberi pentungan. Wayan mengatakan usulan ini bisa dikaji dan bisa saja diterapkan di Indonesia.
"Ini hati-hati karena kajian, walaupun belum berupa undang-undang, kajian yang ada tentang bagaimana polisi cukup bermodalkan pentungan di berbagai negara maju. Kelihatannya perlahan tapi pasti kita akan mengarah ke sana," katanya.
Di Indonesia, penggunaan senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 8 Tahun 2009. Pasal 47 ayat 1 menyebutkan, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia.
Sementara salam Perkapolri 1/2009 menyebutkan, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
BACA JUGA:
Di beberapa negara, penggunaan senjata api oleh kepolisian mulai ditinggalkan. Kalaupun diizinkan, penggunaannya dibatasi dan melewati seleksi yang sangat ketat. Inggris Raya, Irlandia, Selandia Bari, Islandia, Norwegia, hingga Botswana termasuk yang memberlakukan kebijakan ini.
Botswana menjadi satu-satunya negara di Afrika yang polisinya dilarang menggunakan senjata. Sebagai ganti, mereka hanya dibekali semprotan merica dan pentungan.
Sedangkan Norwegia menjadi negara dengan angka penembakan fatal yang rendah. Hal ini disebabkan mayoritas polisi tidak menggunakan senjata. Hanya polisi yang telah melewati seleksi dan pelatihan ketat yang diizinkan menggunakan senjata, dan ternyata angkanya hanya 15 persen dari pelamar.
Evaluasi Izin Penggunaan
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengkritik izin penggunaan senjata api yang melekat pada personel atau anggota sebagaimana yang selama ini berlaku di Indonesia. Mestinya, kata Bambang, izin tersebut melekat pada tugas.
Artinya personel yang berada di luar tugas harus mengembalikan senjatanya. Selain itu ia juga mendorong pemilihan terhadap senjata dengan peluru tajam dan biasa. Peluru tajam digunakan untuk tugas risiko tinggi, sedangkan untuk risiko sedang atau rendah tidak perlu menggunakan peluru tajam.
"Seperti pembubaran unjuk rasa atau tawuran. Itu kan mereka bukan pelaku kriminal tapi pelaku ketertiban sosial. Jadi tidak perlu menggunakan peluru tajam," katanya.
Bambang melanjutkan, pada dasarnya penggunaan senjata api oleh polisi bukan untuk membunuh, tetapi untuk menghentikan ancaman pada personel atau bagi masyarakat.
Tapi faktanya penggunaan senjata api selama ini kerap disalahgunakan karena sifatnya melekat pada anggota. Bahkan di luar tugas, tidak jarang yang menggunakannya untuk gagah-gagahan hingga dibawa ke rumah, padahal itu tidak diperlukan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Police Investigation and Control (IPIC) Rangga Afianto menilai larangan penggunaan senjata oleh kepolisian justru berpotensi menyebabkan kenaikan angka kriminalitas dan kejahatan di masyarakat.
Namun, polisi perlu melakukan evaluasi terhadap standar operasional prosedur (SOP) penggunaan senjata api oleh aparatnya. Ada dua hal yang perlu dievaluasi, yaitu penggunaan senpi untuk dinas dan pengawasan berkala. Izin pemberian senpi wajib melalui seleksi ketat, bukan hanya dari kemampuan anggota tapi juga dari sisi psikologis.
"Instrumen tes psikologinya harus benar-benar spesifik dibedakan antara untuk pengajuan senjata api dan untuk keperluan-keperluan lainnya," kata dia.
Mengenai pengawasan, perlu dilakukan secara berkala dan dilakukan oleh biro khusus. Bila diperlukan, kata Rangga, evaluasi dilakukan oleh atasan setiap satuannya masing-masing setiap bulan.