Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Martin Daniel Tumbelaka, mengecam tindakan polisi yang menembak siswa SMKN 4 Semarang hingga tewas. Martin mengingatkan polisi agar jangan seenaknya menggunakan senjata api. 

Menurut Martin, Polri harus melakukan investigasi dan evaluasi penggunaan senjata api (senpi) terhadap anggotanya. Dia menekankan tugas Polri seharusnya mengayomi masyarakat, bukan melukai. 

"Saya sangat mengecam insiden tersebut. Kasus penembakan seperti ini sudah bukan sekali dua kali saja, sehingga harus dilakukan evaluasi dalam penggunaan senpi. Anggota jangan seenaknya pakai senpi dan membuat masyarakat menjadi korban," ujar Martin, Senin, 2 Desember. 

Martin menekankan sikap arogansi aparat kepada masyarakat harus dihentikan. Dia juga menilai, harus ada tes psikologis rutin bagi anggota Polri. 

"Harus ada evaluasi aturan mengenai penggunaan senpi. Termasuk tes psikologi berkala kepada anggota yang berwenang memegang senjata api. Jangan sampai ada rakyat yang terluka lagi hanya karena sikap arogansi oknum polisi," sambungnya.

Martin menilai, harus ada kejelasan dari persoalan polisi tembak masyarakat ini. Pasalnya, kata Martin, ada pernyataan kontradiktif dari pihak sekolah dan keluarga, serta pihak kepolisian dalam kasus penembakan tersebut. 

"Harus segera diluruskan dan dicari kebenarannya. Jangan ada yang ditutupi," tegas Legislator dari dapil Sulawesi Utara itu.

Martin juga menyoroti klaim polisi yang menyebutkan pelaku berpangkat Aipda dengan inisial RZ terpaksa melepaskan dua peluru untuk melerai tawuran. Pelaku juga mengaku diserang oleh massa tawuran sehingga meletuskan senpinya.

“Kalau maksudnya untuk melerai, kenapa senpi tidak diarahkan ke atas sehingga tidak mengenai orang. Ini kan masih anak-anak. Misalpun benar terjadi adanya tawuran, mereka pasti akan mundur hanya dengan tembakan peringatan,” terang Martin.

“Tapi kalau sampai mengenai korban, artinya senpi memang diarahkan ke depan. Patut dicurigai adanya mens rea atau niat jahat dari pelaku yang sengaja menodongkan senjata ke korban,” lanjutnya.

Martin mengingatkan dalam Pasal 8 Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menyebutkan polisi hanya boleh menggunakan senjata api jika keselamatannya terancam, tidak memiliki alternatif tindakan lain, atau untuk mencegah larinya pelaku kejahatan yang merupakan ancaman terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

"Tapi pada kenyataannya senjata kerap digunakan untuk menunjukkan kekuasaan dan arogansinya. Jika begitu terus, rakyat jadi merasa terancam dan tidak nyaman padahal aparat harusnya melindungi masyarakat," sebut Martin.

Martin mengatakan tindakan penembakan yang dilakukan oleh anggota Polrestabes Semarang telah menimbulkan pertanyaan tentang etika penegakan hukum.

"Bagaimana sebuah lembaga yang bertugas menjaga keamanan publik dapat menembaki korban yang masih berstatus siswa? Selain melanggar HAM, oknum kepolisian itu telah menyalahi nilai-nilai kemanusiaan dan merampas hak-hak anak,” tuturnya.

Saat ini pihak kepolisian menyatakan sedang melakukan pendalaman dan pemeriksaan terhadap polisi yang melakukan penembakan tersebut. Pelaku penembakan juga telah ditahan atau menjalani penempatan khusus di Polda Jawa Tengah dengan status terperiksa.

Keluarga korban pun telah melapor ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah. Berbagai lembaga independen, termasuk Komnas HAM turut mengawal kasus ini.

“Karena banyaknya kontroversi dari kasus tersebut, memang dibutuhkan banyak mata yang melakukan pengawasan. Termasuk kami dari Komisi III DPR juga akan terus mengawal kasus penembakan di Semarang tersebut,” pungkas Martin.