Bagikan:

JAKARTA – Korea Selatan (Korsel) sedang menjadi sorotan dunia, termasuk Indonesia. Tapi kali ini bukan karena drama Korea atau grup vokal yang sedang hits, melainkan tentang kondisi di Negeri Ginseng yang sempat berstatus martial law atau darurat militer selama enam jam.

Presiden Korsel Yoon Suk-yeol tiba-tiba menghebohkan dunia dengan mengumumkan darurat militer untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun pada Selasa (3/12/2024) malam waktu setempat.

Dekrit Yoon ini dibuat dalam pengumuman yang disiarkan di televisi. Ia menuding oposisi melakukan kegiatan “antinegara”.

Keputusan Yoon mendorong ribuan orang berkumpul di depan Majelis Nasional, tempat para anggota parlemen bersidang dengan segera untuk membatalkan perintah tersebut. Dekrit yang dikeluarkan oleh Jenderal Angkatan Darat Park An Soo, yang telah ditunjuk sebagai komandan darurat militer, melarang semua kegiatan politik, rapat umum, dan demonstrasi.

Pertama Sejak 1979

Martial law atau darurat militer adalah ketika militer menjadi penanggung jawab pemerintahan untuk sementara, ketika otoritas sipil dianggap tidak dapat berfungsi. Sebelum ini, Korsel pernah mendeklarasikan darurat militer yaitu pada 1979, ketika diktator militer Park Chung-hee dibunuh dalam sebuah kudeta.

Darurat militer tidak pernah diberlakukan lagi sejak Korsel menjadi negara demokrasi parlementer pada 1987. Dalam pidatonya pada Selasa malam itu, Presiden Yoon mengaku ada upaya oposisi untuk melemahkan pemerintahannya sebelum mengumumkan darurat militer sebagai upaya menghancurkan kekuatan anti-negara yang telah menimbulkan kekacauan.

Militer kemudian mengeluarkan dekrit yang melarang protes dan aktivitas oleh parlemen dan kelompok politik, serta menempatkan media di bawah kendali pemerintah. Tapi deklarasi Presiden Yoon dianggap ilegal dan inkonstitusional. Pemimpin partainya sendiri, Partai Kekuatan Rakyat, bahkan menyebut tindakan Yoon sebagai “langkah yang salah”.

Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengumumkan darurat militer pada Selasa (3/12/2024). (ANTARA/Reuters/The Presidential Office/Spt)

Pernyataan darurat militer oleh Presiden Yoon Suk-yeol membuat warga bergulat dengan ketidakpercayaan, ketakutan, dan kemarahan. Bagi sebagian warga Korea, langkah ini menjerumuskan negara ke dalam ketidakpastian, sekaligus membangkitan kenangan menyakitkan tentang masa lalu otoriter Korsel dan memicu kekhawatiran tentang masa depan demokrasi negara tersebut.

“Kami berjuang untuk demokrasi pada 1987? Apakah kami akan mengalami kemunduran sekarang?” kata Jung, pria 63 tahun, yang berpartisipasi dalam pergerakan pro-demokrasi, seperti dikutip The Korea Herald.

Sedangkan Kim, 87, yang bergabung dalam protes Revolusi April terhadap Presiden Syngman Rhee pada 1960, ikut menumpahkan kekecewaannya.

“Darurat militer yang dideklarasikan saat itu dan yang kemarin sama sekali berbeda. Saat itu kami berjuang untuk demokrasi dan kebebasan,” ucap Kim.

“Tapi pembenaran Yoon untuk mendeklarasikan darurat militer tidak masuk akal. Ini semua mengejek upaya yang telah kami lakukan untuk membangun negara yang demokrasi yang kita miliki saat ini,” lanjutnya.

Seorang pria melihat berita setelah Presiden Yoon Suk-yeol mengumumkan pencabutan darurat militer. (The Korea Herald)

Bagi para generasi muda, deklarasi darurat militer yang dikeluarkan Presiden Yoon terasa asing dan menjadi pengalaman baru.

“Saya tidak pernah berpikir akan melihat darurat militer dalam hidup saya. Ini sesuatu yang kami baca di buku sejarah, bukan sesuatu yang kami alami dalam negara demokrasi,” kata Choi Won-jun, pria 27 tahun.

Darurat Militer Dinyatakan Tidak Sah 

Selama kurang lebih setengah abad terakhir, Korsel menunjukkan demokrasi modern dan berkembang jauh sejak masa kediktatoran militer. Karena itu, tindakan Presiden Yoon dianggap gegabah oleh banyak kalangan.

Hal ini ini juga dipandang sebagai tantangan terbesar bagi masyarakat demokratis tersebut dalam beberapa dekade.

"Pernyataan darurat militer Yoon tampaknya merupakan pelanggaran hukum dan salah perhitungan politik, yang secara tidak perlu membahayakan ekonomi dan keamanan Korea Selatan," kata seorang ahli di Universitas Ewha di Seoul, Leif-Eric Easley.

"Ia terdengar seperti politisi yang terkepung, melakukan tindakan putus asa terhadap skandal yang meningkat, hambatan kelembagaan, dan seruan untuk pemakzulan, yang semuanya kini kemungkinan akan meningkat."

Warga melakukan unjuk rasa menolak pemberlakuan darurat militer yang diumumkan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol. (ANTARA/Reuters/Kim Soo-hyeon/Spt).

Darurat militer hanya berlangsung enam jam, setelah parlemen Korea Selatan, dengan 190 dari 300 anggota yang hadir, menolak tindakan tersebut. Sehingga deklarasi darurat militer Presiden Yoon dinyatakan tidak sah.

Berdasarkan hukum Korsel, pemerintah harus mencabut darurat militer jika mayoritas anggota parlemen menuntutnya dalam pemungutan suara. Hukum yang sama juga melarang perintah darurat militer untuk menangkap anggota parlemen.

Pengamat politik Park Chang-hwa mengatakan bahwa pada akhirnya penyelesaian cepat dari kebuntuan darurat militer hanya dalam waktu enam jam merupakan hasil dari sistem pengawasan dan keseimbangan parlementer dan hak rakyat untuk melawan.

“Selama proses pemblokiran deklarasi darurat militer, media mengamati kejadian dengan saksama, Majelis Nasional bersidang dengan cepat, dan ketika anggota parlemen memanjat pagar dan terlibat perkelahian fisik, warga turun tangan mendukung mereka,” kata Park kepada The Korea Herald.

“Karena semua ini terjadi dengan cepat, situasi dapat diatasi pada tahap awal. Saya benar-benar yakin rakyatlah yang menghentikannya. Jika para ajudan dan masyarakat tidak mampu menghalanginya, bisa saja terjadi situasi di mana beberapa anggota parlemen ditahan, yang mengakibatkan kurangnya dukungan mayoritas. Jika itu yang terjadi, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi,” ucap Park.