JAKARTA – Kasus pembunuhan ayah dan nenek di Lebak Bulus pekan lalu menarik atensi masyarakat, karena pelakunya adalah remaja yang masih berusia 14 tahun. Menurut keterangan polisi pelaku berinisial MAS itu mengaku mendengar bisikan gaib yang mendorongnya melakukan tindakan keji tersebut.
MAS diketahui menikam anggota keluarganya di rumahnya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada Sabtu (30/11) dini hari WIB. Akibat peristiwa tersebut ayahnya, APW (40), dan neneknya, RM (69), meninggal dunia. Sedangkan ibunya, AP (40), terluka dan sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit.
Polisi tidak membutuhkan waktu lama untuk menangkap MAS. Belum diketahui pasti apa yang menjadi motif MAS menikam keluarganya. Tapi dari keteranga polisi, ia mengaku mendengar bisikan gaib yang memicu tindakan keji tersebut.
"Ya, interogasi awalnya dia merasa dia tidak bisa tidur, terus ada hal yang membisiki dia lah, meresahkan dia, seperti itu," kata Kasar Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Gogo Galesbung.
Sementara itu, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menegaskan butuh pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan apakah MAS memang memiliki kondisi mental khusus atau justru klaim sakit jiwa dijadikan sebagai pembelaan diri.
Halusinasi dan Kemungkinan Gangguan Mental
Pengalaman mendengarkan bisikan gaib sering dihubungkan dengan hal-hal mistis atau sederhananya ini adalah gangguan jin. Padahal menurut psikolog, mendengar bisikan gaib adalah sebuah halusinasi dan bisa saja menjadi salah satu gejala gangguan mental.
“Dalam konteks budaya atau spriritual, istilah ini digunakan untuk menggambarkan pengalaman mendengar suara yang dianggap berasal dari makhluk gaib, roh, atau kekuatan supranatural,” kata Psikiater Forensik, Natalia Widiasih Raharjanti.
Namun, dalam dunia psikiatri, fenomena ini dapat dikategorikan sebagai halusinasi pendengaran, yakni persepsi mendengar suara yang terasa nyata, meskipun tidak ada sumber suara eksternal.
"Halusinasi sendiri adalah fenomena gangguan sensori yang dirasakan seseorang seolah-olah nyata, meskipun tidak ada sumber rangsangan di lingkungan sekitarnya," jelasnya.
BACA JUGA:
Sementara itu, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Zulvia Oktanida Syarif menyebut perlunya evaluasi lebih mandalam ketika seseorang mengaku mendengar bisikan gaib. Ini dilakukan untuk memastikan apakah benar-benar halusinasi atau hanya alasan belaka.
Untuk membutikan apakah ini halusinasi atau sekadar alasan belaka, perlu pemeriksaan psikiatrik atau pemeriksaan kejiwaan secara lengkap. Karena dalam banyak kasus pembunuhan, bisikan gaib sering menjadi alasan pembenaran atas perilaku pelaku.
Dalam sejumlah kasus yang berkaitan dengan hukum, tak jarang pelakunya mengaku mendengar bisikan gaib sebagai dalih. Sebelum kasus yang menjadikan MAS sebagai tersangka, pada 2017 seorang polisi di Kalimantan Barat memutilasi kedua anaknya karena mendapat bisikan gaib berupa perintah Tuhan.
Masih di tahun yang sama, dokter di Jakarta Timur menembak istrinya menggunakan senjata api. Dalam pengakuannya, dokter merasa mendapat bisikan gaib untuk melakukan hal itu.
Mewaspadai Malingering
Mengenai kasus pembunuhan ayah dan nenek di Lebak Bulus, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mencermati beberapa hal mulai dari dugaan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain serta kondisi mental khusus.
Menurut Reza, memang relevan untuk membahas ihwal klaim adanya bisikan yang konon didengar oleh pelaku pidana. Apalagi halusinasi auditori, seperti klaim MAS, tercatat sebagai bentuk halusinasi yang paling sering disampaikan oleh para pelaku pidana.
“Jelas, perlu dicek benar tidaknya klaim tentang gejala abnormalitas kejiwaan itu. Dan apakah gejala itu merupakan bagian dari kondisi yang memperoleh dispensasi sebagaimana pasal 44 ayat 1 KUHP,” ujar Reza kepada VOI.
“Jika ya, jangan lupakan pasal 44 ayat 2. Ayat ini acap dilupakan kepolisian, sehingga secara sepihak menghentikan penanganan kasus,” imbuhnya.
Pada Pasal 44 ayat (1) menyatakan, Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Sedangkan Pasal 44 ayat (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Di sisi lain, menurut Reza perlu juga diwaspadai kemungkinan pelaku berlagak sebagai penyakitan, berpura-pura sakit demi mendapat keuntungan pribadi. Hal ini dikenal dengan istilah malingering, baik itu bersifat full, partial, maupun false imputation.
“Toh, setiap pesakitan pada dasarnya ingin lolos dari jerat hukum. Sehingga, kemungkinan pesakitan bersiasat sakit jiwa memang patut diwaspadai. Bahkan layak dijadikan sebagai hal yang memberatkan, sekiranya terdakwa divonis bersalah,” tegasnya.
Yang menjadi masalah, kata Reza, kasus Lebak Bulus ini melibatkan anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH sehingga kalangan klinis seperti enggan membangun dugaan bahwa anak bisa memerakan malingering. Karena masih sangat belia, ABH dianggap polos-polos saja, seolah mustahil mereka mengelabui hukum.
“Begitu pula terhadap pemeriksa yang menyimpulkan bahwa ABH mengalami halusinasi auditori dan kondisi-kondisi abnormal mental lainnya,” kata Reza lagi.
“Adakah kemungkinan bahwa si pemeriksa yang melebih-lebihkan penilaiannya (malingering by proxy), sehingga justru membuka ruang bagi pelaku untuk lolos dari lubang jarum?” pungkasnya.