JAKARTA – Selain pengumuman darurat militer, yang hanya bertahan enam jam, oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol beberapa waktu lalu, Negeri Ginseng itu juga dilanda masalah tak kalah pelik, yaitu ancaman kepunahan.
Korea Selatan, yang dikenal sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi terbesar, saat ini menghadapi krisis kesuburan. Andai tren ini berlanjut, populasi negara tersebut terancam merosot hingga tinggal sepertiganya di akhir abad ini.
Berdasarkan data Statistik Korea yang belum lama ini dirilis, pada 2023 tingkat kelahiran negara tersebut mengalami penurunan sebesar delapan persen jika dibandingkan sebelumnya. Hasil studi menunjukkan populasi Korsel yang saat ini jumlahnya 52 juta orang terancam merosot menjadi hanya 17 juta jiwa pada 2100 jika tren ini terus berlanjut.
Penurunan populasi yang terus dialami Korea Selatan dapat mengganggu stabilitas ekonomi sekaligus menimbulkan tantangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Melansir Al Jazeera, angka kelahiran di Korsel mencapai titik terendah 0,72 anak setiap perempuan pada 2023. Angka ini diharapkan terus turun menjadi 0,6 pada tahun ini.
Menaikkan Insentif Kelahiran
Penurunan angka kelahiran di Korea Selatan sebenarnya bisa ditelusuri sejak 1960, ketika pemerintah saat itu justru mengkhawatirkan pertumbuhan populasi yang begitu cepat hingga melampaui pertumbuhan ekonomi. Kala itu, pemerintah menerapkan keluarga berencana untuk menurunkan angka kelahiran.
Di tahun itu, pendapatan per kapita Korsel hanya 20 persen dari rata-rata global, sedangkan angka kelahirannya begitu tinggi, yaitu enam anak per perempuan. Pada 1982, ketika ekonomi tumbuh, tingkat kelahiran turun menjadi 2,4.
Pada 1983, angka kelahiran terus menurun tajam dalam beberapa decade berikutnya dan bisa dibilang pengurangan yang tidak terkendali ini menjadi awal krisis. Populasi Korsel diproyeksikan menyusut dari 52 juta menjadi hanya 17 juta pada akhir abad ini.
Beberapa ahli memperkirakan hilangnya hingga 70 persen populasi, bahkan bisa hanya menyisakan 14 juta jiwa, adalah situasi yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi serta menyebabkan tantangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemerintah Korea Selatan tidak tinggal diam menghadapi situasi ini. Sekarang misalnya, mereka tengah mempertimbangkan menawarkan uang tunai 100 juta won atau setara Rp1,12 miliar untuk setiap anak yang lahir, sebagai upaya memperbaiki tingkat kelahiran, seperti dilaporkan The Independent. Komisi Anti-Korupsi & Hak Sipil tengah melakukan survei publik untuk mengetahui penilaian masyarakat sebelum mengimplementasikan rencana ini.
Survei dilakukan dengan mengajukan empat pertanyaan kunci untuk menilai apakah masyarakat mendukung pengeluaran 22 triliun won per tahun untuk inisiatif tersebut dan apakah insentif finansial dapat mendorong pasangan untuk memiliki anak.
Pendanaan yang diusulkan ini akan menelan setengah anggaran nasional yang diperuntukkan mengatasi rendahnya angka kelahiran di negara tersebut, yaitu sekitar 48 triliun won per tahun.
Untuk saat ini para orangtua di Korea Selatan menerima antara 35 juta won dan 50 juta sebagai insentif program kelahiran hingga anak mereka berusia tujuh tahun.
Selain itu, pemerintah sendiri telah memberlakukan sejumlah kebijakan guna mendorong angka kelahiran, seperti merekrut pekerja asing untuk pengasuh anak, memberikan keringanan pajak, bahkan mengizinkan pria dengan tiga anak atau lebih di usia 30 tahun untuk terhindar dari akademi militer. Namun, rentetan upaya tersebut belum membuahkan hasil maksimal sejauh ini.
Akar Masalah
Menurut studi, krisis demografi Korea Selatan disebabkan oleh beberapa faktor, namun para pengamat sepakat penyebab utamanya adalah karena rasa frustrasi pasangan terkait biaya hidup yang terus meningkat dan penurunan kualitas hidup.
Problem utama dari masalah ini adalah dinamika sosial dan budaya di negara tersebut. Di area-area urban, banyak perempuan menempatkan karier sebagai prioritas daripada memulai kehidupan berkeluarga.
Menurut survei pemerintah dari 2023, lebih dari setengah responden menyatakan “beban mengasuh anak” sebagai masalah utama dalam partisipasi perempuan di lingkungan kerja.
Meningkatnya rumah tangga berpenghasilan ganda dan akses pendidikan yang lebih baik memungkinkan perempuan untuk menunda atau bahkan melewatkan pernikahan dan melahirkan.
BACA JUGA:
Lebih jauh, pernikahan juga tidak lagi dianggap sebagai keharusan memiliki anak. Dalam satu dekade terakhir, proporsi orang yang menerima untuk memiliki anak di luar nikah meningkat dari 22 persen menjadi 35 persen. Tetapi hanya 2,5 persen anak di Korea Selatan yang lahir di luar nikah, menurut laporan The Economic Times.
“Memiliki anak ada dalam daftar saya, namun saya memiliki peluang promosi dan saya tak ingin melewatkannya,” ujar Gwak Tae-hee, junior manager usia 34 tahun di sebuah perusahaan Korea Selatan, yang telah menikah selama tiga tahun.