JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin putuskan menunda penggunaan vaksin COVID-19, AstraZeneca. Keputusan diambil menyusul sejumlah kasus gangguan kesehatan yang muncul dari penggunaak vaksin AstraZeneca. Pemerintah akan menunggu hasil penelitian World Health Organization (WHO).
Kata Budi Gunadi, saat ini WHO sedang memeriksa efek samping pembekuan darah dalam penggunaan vaksin buatan Oxford, sebagaimana dilaporkan banyak negara. Pemeriksaan dilakukan WHO bersama Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (Inggris) dan European Medical Authority.
"Sampai sekarang WHO masih meneliti. Kita juga terima dari MHRA itu BPOM-nya UK. Dan EMA itu, European Medical Authority, mereka sekarang belum mengonfirmasi apakah ini ada korelasinya karena vaksin atau tidak," tutur Budi Gunadi dalam rapat kerja di Komisi IX DPR, Jakarta, Senin 15 Maret.
Selain penelitian WHO, pemerintah juga masih menanti fatwa halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk vaksin AstraZeneca. Pasalnya, banyak pihak yang memertanyakan kehalalan penggunaan vaksin tersebut terutama kalangan DPR.
"MUI akan rapat harusnya besok atau lusa, sehingga fatwanya bisa dikeluarkan MUI dalam dua hari ke depan ini," kata Budi Gunadi.
Diketahui, Indonesia akan mendapatkan 11.704.800 dosis vaksin AstraZeneca melalui kerja sama multilateral Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI) COVAX Facility bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Saat ini sudah datang 1.113.600 dosis yang mendarat di Tanah Air pada Senin, 8 Maret.
Sisanya diharapkan bisa sampai pada Mei 2021. Namun, diberitakan ada delapan negara Eropa yang mengehentikan sementara penyuntikan vaksin COVID-19 AstraZeneca, menyusul laporan pembekuan darah pasien usai divaksin.
Perbedaan AstraZeneca dan Sinovac
Selain AstraZeneca, Indonesia juga mendatangkan vaksin Sinovac. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin darurat untuk vaksin asal China. Sinovac datang lebih dulu dengan jumlah mencapai 40 juta dosis. Pun dengan AstraZeneca, yang izin penggunaan daruratnya juga telah disetujui.
Jika AstraZeneca asal Inggris, Sinovac diproduksi oleh China. Nama asli vaksin Sinovac adalah CoronaVac. Keduanya memiliki beberapa kesamaan. Misalnya, sama-sama dapat disimpan di suhu yang tak begitu rendah dengan kisaran 2-9 derajat celcius. Hal itu penting untuk memudahkan proses penyimpanan dan distribusi.
Pun perbedaan di antara Sinovac dan AstraZeneca ada pada poin efikasi atau kemanjuran. Sinovac lebih manjur. Versi BPOM, kemanjuran Sinovac mencapai 65,3 persen. Sementara tingkat kemanjuran AstraZeneca berada di angka 62,1 persen. Lainnya, soal harga. AstraZeneca lebih murah dengan kisaran Rp43 ribu hingga Rp58 ribu. Sementara Sinovac berharga Rp200 ribu per dosis.
Banyak negara tunda AstraZeneca
Sebelum Indonesia, sejumlah negara telah menunda penggunaan vaksin AstraZeneca. Negara-negara itu melaporkan adanya penyumbatan darah dari orang-orang penerima vaksin tersebut. Terakhir adalah Belanda, yang segera menyetop penggunaan AstraZeneca hingga setidaknya 29 Maret.
Langkah itu diambil sebagai antisipasi dari laporan dua negara Eropa lain, Irlandia, Denmark, dan Norwegia yang umumkan kasus penyumbatan darah. Menteri Kesehatan Belanda Hugo de Jonge menjelaskan, memang belum ada kasus semacam itu di Belanda.
Belanda bahkan belum menemukan bukti kaitan langsung antara vaksin dengan penyumbatan darah sebagaimana ditemukan di tiga negara Eropa lain. "Kami tidak dapat membiarkan keraguan soal vaksin tersebut," kata de Jonge, dikutip Reuters, Senin, 15 Maret.
"Kami harus memastikan bahwa semuanya sesuai, sehingga cukup bijaksana untuk menghentikan (penggunaan vaksin) saat ini," tambah de Jonge.
Minggu, 14 Maret, AstraZeneca telah mengklarifikasi. Mereka menyatakan hasil pemeriksaan internal tak menunjukkan bukti peningkatan risiko pembekuan darah. Hal itu didapat dari tinjauan AstraZeneca pada lebih dari 17 juta orang yang divaksinasi di Inggris dan Uni Eropa.
“Peninjauan yang cermat terhadap semua data keamanan yang tersedia terhadap lebih dari 17 juta orang, yang divaksinasi di Uni Eropa dan Inggris dengan Vaksin COVID-19 AstraZeneca tidak menunjukkan bukti peningkatan risiko emboli paru, trombosis vena dalam atau trombositopenia, dalam usia tertentu, kelompok, jenis kelamin, kelompok atau di negara tertentu,” kata perusahaan tersebut dalam pernyataannya melansir Reuters.
Badan Obat Eropa (EMA) mengatakan tidak ada indikasi bahwa kejadian itu disebabkan oleh vaksinasi. Pernyataan EMA sama dengan pandangan yang digaungkan WHO pada pekan lalu. Menurut AstraZeneca, sejauh ini 15 peristiwa trombosis vena dalam dan 22 peristiwa emboli paru telah dilaporkan, yang serupa dengan vaksin COVID-19 berlisensi lainnya.
Selain itu, AstraZeneca mengatakan, pengujian tambahan telah dan sedang dilakukan oleh perusahaan dan otoritas kesehatan Uni Eropa, serta tidak ada tes ulang yang menunjukkan kekhawatiran. Laporan keamanan bulanan akan dipublikasikan di situs web EMA pada minggu berikutnya.