Survei SMRC: Lebih Banyak Masyarakat Bersedia Divaksin AstraZeneca Meski Tuai Polemik
ILUSTRASI/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis jajak pendapat mengenai vaksin COVID-19 merek AstraZeneca. 

Hasilnya, lebih banyak masyarakat yang mengaku bersedia menerima vaksin yang sempat menuai polemik soal halal-haramnya vaksin tersebut.

Mulanya, responden ditanya soal pengetahuannya mengenai vaksin AstraZeneca. Hasilnya, hanya sebanyak 38 persen warga mengetahui pemerintah mengadakan vaksin asal Inggris tersebut. Sementara, ada 62 persen responden yang tidak mengetahui adanya vaksin AstraZeneca.

"Dari yang tahu, 55 persen pernah mendengar Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan vaksin itu haram namun boleh digunakan," kata Direktur Riset SMRC, Deni Irvani dalam keterangan tertulis, 29 Maret.

Kemudian, dari yang pernah mendengar pernyataan MUI tersebut, lebih banyak warga yang mengaku ingin divaksin menggunakan AstraZeneca, yakni sekitar 53 persen. Sebanyak 34 persen responden tidak bersedia, dan 14 persen responden tidak menjawab.

"Namun demikian, minat warga untuk melakukan vaksinasi dengan AstraZeneca-Oxford ini relatif rendah karena di bawah target (keikutsertaan program vaksinasi) minimal 70 persen," jelasnya.

Survei ini dilakukan pada periode 23 hingga 26 Maret 2020. Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka kepada 1.401 responden yang dipilih secara acak. Adapun margin of error survei ini diperkirakan sekitar 2,7 persen dan tingkat kepercayaan survei sebesar 95 persen.

Sebelumnya pemerintah sudah mendistribusikan vaksin AstraZeneca ke tujuh provinsi, di tengah polemik soal halal atau haramnya vaksin COVID-19 asal Inggris tersebut.

Provinsi yang akan mendapatkan jatah vaksin asal Inggris ini berada di DKI Jakarta, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau.

Vaksin AstraZeneca menyasar pada kelompok prioritas vaksinasi tahap kedua, yakni para petugas pelayanan publik dan masyarakat lanjut usia (lansia). Alasan vaksin AstraZeneca disebar ke tujuh provinsi tersebut karena didasarkan pada pertimbangan daerah yang memiliki sektor pariwisata prioritas dan menggelar acara internasional.

Vaksin AstraZeneca disebar ketika tersandung polemik soal halal atau haramnya. Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh menyebut komposisi vaksin asal Inggris tersebut mengandung tripsin babi yang diharamkan umat Islam.

"Ketentuan hukumnya, yang pertama vaksin produk AstraZeneca hukumnya haram, karena tahapan produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi," kata Asrorun.

Namun, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Hasan Mutawakkil menyebut bahwa vaksin COVID-19 merek AstraZeneca halal digunakan. Hal ini berbeda dengan fatwa MUI pusat yang menetapkan AstraZeneca haram.

"Bapak Presiden langsung mendengarkan apa pendapat dan respons dari para Romo, kyai, para pengasuh-pengasuh pondok pesantren, bahwa vaksin astrazeneca ini hukumnya halalan dan toyyiban," kata Hasan.