Bagikan:

JAKARTA - Tiga juta dosis vaksin Sinovac COVID-19 yang sudah di tangan pemerintah Indonesia membuka pintu harapan masyarakat akan bebas dari virus corona. Vaksin yang telah ada di Tanah Air ini didatangkan pada tanggal 6 dan 31 Desember lalu.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperhitungkan, ada 188 juta masyarakat yang diprioritaskan dalam pemberian vaksin dari total 269 juta penduduk. Mereka adalah kelompok rentang usia di atas 18 tahun sampai 59 tahun.

Kemudian, jika dikurangi masyarakat yang memiliki penyakit komrbid, ibu hamil, dan pasien yang telah sembuh dari COVID-19, perkiraan prioritas vaksinasi sebanyak 181 juta orang.

"Dengan memperhitungkan bahwa 1 orang membutuhkan 2 dosis dan memperhitungkan pedoman WHO, lalu kita persiapkan 15 persen cadangan, maka total vaksi yang diperlukan ada sekitar 426 juta dosis vaksin," kata Budi Gunadi pada Selasa, 29 Desember 2020.

Pemerintah mengamankan sekitar 400 juta dosis dari empat jenis vaksin COVID-19 dari berbagai negara. Ada 5 jalur pengadaan vaksin, yakni 4 dengan jalur bilateral dan 1 jalur multilateral.

Vaksin COVID-19 dari pengadaan bilateral meliputi Sinovac, Novavax, AstraZeneca, dan BioNTech Pfizer. Sementara, vaksin COVID-19 multilateral akan bekerja sama dengan organisasi vaksin internasional GAVI.

Pertama, vaksin Sinovac. Produsen vaksin Sinovac adalah perusahaan asal China, Sinovac Biotech, Ltd. Tiga juga vaksin Sinovac telah dibawa ke PT Bio Farma di Bandung. Total perjanjian pengadaan sebanyak 125 juta vaksin. Adapun uji coba Sinovac di Brazil mendapat hasil efektivitas vaksin mencapai antara 50-90 persen, sementara di Turki 91,25 persen.

Indonesia juga telah menjalani uji klinis fase tiga vaksin Sinovac terhadap ribuan relawan. Hasil uji klinis belum diumumkan, karena menunggu efek samping setelah enam bulan vaksinasi. Namun, sejauh ini tidak ada efek samping yang berarti.

"(Hasil uji klinis fase 3) sudah menunjukkan data-data yang baik, dikaitkan dengan aspek keamanan. Sudah dilaporkan bahwa tidak ada efek samping yang serius, sehingga menunjukkan aspek keamanan yang konsisten dengan hasil saat uji klinis fase 1 dan 2," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito pada Selasa, 30 Desember.

Vaksin Sinovac tiba di laboratorium Bio Farma (Sumber: BPMI Setpres)

Kedua, vaksin Novavax. Vaksin Novavax didatangkan dari perusahaan asal Amerika Serikat. Pemerintah RI memborong 100 juta dosis vaksin. AS baru akan memulai uji klinis fase 3 yang melibatkan 30 ribu relawan. 

Diketahui, hasil uji klinis pertama vaksin Novavax disebut dapat memicu respons imun yang kuat usai penyuntikkan. Selain itu, vaksin ini bisa ditoleransi dengan baik oleh tubuh.

Ketiga, AstraZeneca. Pemerintah berencana memborong 100 juta vaksin dari perusahaan vaksin asal Inggris tersebut. Uji klinis yang dilakukan AstraZeneca dan Universitas Oxford menunjukkan vaksin virus corona produksinya memiliki keefektifan rata-rata 70 persen. Vaksin AstraZeneca dianggap mudah didistribusikan karena tidak perlu disimpan pada suhu yang sangat dingin.

Keempat, vaksin Pfizer yang diproduksi dari perusahaan gabungan Amerika Serikat dan Jerman. Akan ada 100 dosis vaksin Pfizer, dengan 50 juta dosis yang telah dikonfirmasi dan 50 juta lainnya masih menjadi opsi.

Warga Inggris menjadi orang pertama yang mendapatkan suntikan vaksin Pfizer. Dalam uji coba besar tahap akhir, vaksin terbukti 95 persen efektif dalam mencegah penyakit, jauh lebih baik daripada yang diantisipasi semula.

"Untuk menjamin resiliensi vaksin atau keterjaminan kedatangan vaksin, kita lakukan dari 4 sumber yang berbeda. Diharapkan, vaksin-vaksin datang secara bertahap ke Indonesia dan segera melakukan penyuntikan seluruh rakyat Indonesia, diawali dengan 181 juta masyarakat," jelas Menkes Budi Gunadi.

Tak Semua Warga Mau Divaksin

Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) merilis hasil survei terbaru terkait kepercayaan publik secara nasional terhadap vaksin dan vaksinasi COVID-19. Sebanyak 67 persen masyarakat mengetahui dan pernah mendengar kabar bahwa pemerintah tengah merencanakan pemberian vaksin COVID-19, sementara 33 persen lainnya tidak.

Terkait keinginan warga untuk mendapatkan vaksin, ternyata mayoritas warga masih ragu apakah dirinya bersedia divaksin atau tidak. Dari responden yang mengetahui rencana vaksinasi, didapatkan bahwa 40 persen dari mereka masih ingin berpikir terlebih dahulu untuk divaksin, lalu 37 persen telah bersedia, 17 persen tidak ingin divaksin, dan 6 persen tidak menjawab.

Survei ini dilakukan pada periode 16 sampai 19 Desember 2020 kepada 1.202 responden via telepon. Margin of error dalam survei ini sebesar 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Simulasi vaksinasi (Pemprov Jatim)

Bisa Merdeka Setelah Divaksin?

Apakah vaksin benar-benar membuat kita merdeka selamanya dari COVID-19? Ternyata sampai saat ini belum ada yang menjamin hal itu.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio menyebut sampai saat ini, semua pabrik vaksin pun belum ada yang bisa memastikan berapa lama antibodi atau kekebalan setelah divaksinasi itu akan bertahan. 

Sebab, menurut Amin, belum ada juga pengembang vaksin itu yang sudah punya data hasil uji klinis fase 3 lebih dari 6 bulan. "Bahkan, banyak yang belum selesai fase tiganya. Belum lagi, (datanya) itu harus diikuti terus sampai 6 bulan, sampai 12 bulan, atau lebih," kata Amin pada Selasa, 22 Desember.

"Sekali lagi, kita belum bisa memastikan saat ini Apakah kemudian harus ada penyuntikan kembali. Kita baru bisa tahu kapan dilakukan penyuntikan berikutnya setelah kita mengetahui data kekebalan itu bertahan berapa lama," tambahnya.

Ahli epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo menyebut belum tentu masyarakat boleh melepas kewajiban pelaksanaan protokol kesehatan setelah divakinasi.

Sebab menurutnya, antibodi dalam tubuh setelah divaksinasi tidak langsung muncul. Respons imun dalam tubuh baru muncul 7 sampai 10 hari kemudian. 

"Hati-hati, karena nanti banyak orang setelah divaksin, langusng buka masker dia. Protokol 3M-nya enggak dilakukan. Padahal, antibodinya belum terbentuk. Bisa jadi dia akan terinfeksi COVID-19. Makanya, pemerintah harus komunikasikan ke publik. Kalau enggak, nanti orang-orang akan seenaknya sendiri," imbuhnya.