Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah lembaga survei menilai pemerintah harusnya menggandeng tokoh agar suatu kelompok masyarakat mau menjalani vaksinasi COVID-19. Namun, apakah ketokohan seseorang dapat membuat masyarakat pada kelompok tertentu mau menjalankan program prioritas pemerintah ini?

Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bisa menjadi teladan bagi pendukungnya untuk menerima vaksin COVID-19. Hal ini tergambar dari hasil survei bertajuk Efek Tokoh dan Otoritas Kesehatan pada Intensi Warga untuk Divaksinasi: Survei Eksperimental.

Selain Prabowo, tenaga kesehatan terutama dokter juga menjadi teladan. Sebab, dalam survei yang diikuti 1.401 responden ini ditemukan kesediaan warga jika tahu dokter dan Prabowo Subianto sudah divaksin masing-masing mencapai 74 persen dan 73 persen.

Adapun alasan Prabowo bisa memberikan teladan bagi pendukungnya, karena masih sentimen Pilpres 2019 lalu masih ada.

“Warga nampaknya masih terbelah secara politik sebagai akibat Pilpres 2019 meskipun Prabowo sendiri sudah masuk kabinet,” kata Direktur Riset SMRC, Deni Irvani dalam keterangan tertulisnya, Senin, 29 Maret.

Dia memaparkan, kesediaan melakukan vaksinasi di kalangan pemilih Prabowo hanya 46 persen jauh di bawah pemilih Jokowi yang berjumlah 71 persen.

“Namun begitu dikatakan bahwa Prabowo sudah divaksin, persentase pemilih Prabowo yang mau divaksin ternyata meningkat dari 46 persen menjadi 67 persen,” ungkapnya.

“Ini menunjukkan Prabowo menjadi teladan bagi pendukungnya bukan hanya dalam politik tapi juga dalam hal perilaku terkait kesehatan seperti kesediaan untuk divaksin ini,” imbuh Deni.

Selain Prabowo, pentolan Front Pembela Islam (FPI) yang kini jadi terdakwa yaitu Rizieq Shihab juga diusulkan untuk dilibatkan sebagai influencer vaksin COVID-19. Usulan ini datang dari Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.

Menurutnya, menjadikan Rizieq sebagai influencer vaksin COVID-19 bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. Terutama, setelah adanya polemik soal vaksin buatan AstraZeneca yang dianggap mengandung enzim babi.

"Saya mengusulkan Habib Rizieq Shihab pun kalau perlu jadi influencer vaksinasi. Karena ini supaya orang tidak melihat ini isu politik, tapi ini isu bersama," kata Burhanuddin dalam rilis survei Indikator secara daring yang disiarkan di YouTube, Minggu, 21 Maret.

Dia juga menyebut, berdasarkan hasil survei Indikator pada bulan Februri 2021 lalu, tercatat sebanyak 81 persen responden menilai faktor kehalalan vaksin COVID-19 menjadi isu penting dalam program vaksinasi nasional. Sedangkan, sebanyak 15 persen responden menilai segi keamanan vaksin lebih penting dibanding kehalalan.

Sehingga, pemerintah harusnya mulai lebih memaksimalkan peran-peran tokoh agama, terutama ulama untuk menyukseskan program vaksinasi nasional.

"Ini artinya isu kehalalan ini menjadi krusial termasuk buat saya pemerintah harus lebih memaksimalkan peran dari tokoh ulama, tokoh agamawan. Jadi yang jadi influencer vaksin bukan hanya Raffi Ahmad,” ungkapnya.

Lantas manjurkah cara ini?

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai ketokohan kurang begitu efektif untuk mengajak masyarakat melaksanakan vaksin COVID-19. Sebab, tokoh politik seperti Prabowo Subianto dan tokoh agama seperti Rizieq Shihab hanya didukung oleh kelompok terbatas.

“Iya (berpengaruh, red) di circle kecil mereka. Misalnya di kalangan pendukung Partai Gerindra, FPI. Jadi kalau hanya tokoh politik, tokoh agama ya hanya berlaku di kelompok terbatas saja,” ungkapnya saat dihubungi VOI.

“(Ketokohan, red) yang berlaku itu, kalau dia sejenis seperti Cak Nun, nah itu bisa. Jadi artinya di mata publik punya value dan enggak punya musuh,” imbuh Trubus.

Kalaupun pemerintah ingin menggandeng tokoh, kata dia, sebaiknya tokoh yang diajak adalah mereka yang memang dekat dengan masyarakat dan dari lingkungan terdekat. Misalnya, ustaz di kampung hingga tokoh sosial yang seringkali memberdayakan kampung.

Selain itu, pemerintah juga bisa menggerakkan relawan untuk door to door memberikan sosialisasi dari mulai kehalalan, efikasi, keampuhan, hingga keamanan. Dengan begini, tentunya kepercayaan publik bisa meningkat.

“Jadi ketokohan secara nasional itu enggak bisa. Mereka memang diakui secara nasional tapi untuk menggerakkan grassroot (akar rumput atau masyarakat) enggak. Karena apa? Ada missing link di tingkat publik. Kecuali bicara soal politik,” jelasnya.

Sementara pandangan berbeda disampaikan oleh epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Kata dia, program vaksinasi peran tokoh agama hingga publik figur memang perlu untuk menarik massa atau audiens.

Hanya saja, pesan yang disampaikan terkait vaksinasi termasuk manfaatnya harus tetap disampaikan oleh pakar kesehatan. “Jadi ini riset mengatakan seperti itu. Mereka artis, tokoh agama, publik figur, dan lain sebagainya memperkuat dan bisa memfasilitasi agar jamaah maupun penggemar, pendukungnya mau mendengarkan. Jadi apa yang disampaikan pakar kesehatan bisa diperkuat,” kata Dicky.

Dengan didampingi pakar kesehatan, mereka yang punya ketokohan juga bisa menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan program vaksinasi COVID-19. Termasuk meluruskan hoaks yang berkembang sehingga masyarakat mau divaksin.

“Jadi dia (tokoh publik maupun agama, red) bisa memfasilitasi. Misalnya, dia mengadakan pengajiannya kemudian dia mengundang pakar kesehatan. Itu yang harus dilakukan dan sangat tepat jika dilakukan,” pungkasnya.