JAKARTA – Kabar dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang terancam tidak bisa melanjutkan studi cukup menghebohkan publik. Menurut kabar yang beredar, hal ini terjadi karena si mahasiswa memiliki tunggakan uang kuliah tunggal (UKT).
ITB sedang menjadi perbincangan hangat di sejumlah media, karena ratusan mahasiswa yang menunggak pembayaran studi. Isu ini menjadi makin hangat diperbincangkan karena pihak rektorat ITB menawarkan skema pembayaran uang kuliah melalui pinjaman online (pinjol). Diketahui bahwa ITB bekerja sama dengan platform pinjol Danacita sejak 2023 lalu.
Kabar ITB bekerja sama dengan pinjol untuk pembayaran uang kuliah pertama kali diungkap akun X @ITBFess. Cuitannya langsung mengundang reaksi negatif. ITB bahkan disebut tidak berperikemanusiaan karena menyuruh mahasiswa tidak mampu menggunakan pinjol demi membayar kuliah.
Siapkan Sejak Lahir
Budi, bukan nama sebenarnya, bercerita sebenarnya dia agak memaksakan diri berkuliah di ITB. Keluarganya bukan termasuk keluarga yang terlalu mapan. Kedua orangtuanya membuka usaha sendiri, sehingga penghasilannya tidak tetap.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, usaha keluarganya goyah dan dampaknya masih terasa sampai sekarang. Tapi ia bersikeras masuk ITB lantaran ada komitmen tak tertulis di kampus itu bahwa “ITB tidak akan pernah mengeluarkan mahasiswanya karena masalah ekonomi”.
Tapi apa mau dikata, kini ia terancam tidak bisa menuntaskan studinya karena nilai tunggakannya mencapai puluhan juta rupiah.
"Sekarang saya lagi menunggu keputusan pihak kampus untuk mendapat kepastian apakah bisa lanjut..." ucap Budi pada Jumat (26/1/2024).
Di era sekarang ini, pendidikan dianggap sebagai investasi jangka panjang, terutama anak-anak. Pendidikan yang baik dinilai memiliki potensi yang lebih besar dalam membentuk karakter dan masa depan.
Tapi semua orang setuju, makin hari biaya pendidikan semakin meningkat. Mengingat mahalnya biaya pendidikan, tak heran jika ini menjadi masalah di hampir setiap keluarga, utamanya kelas menengah ke bawah.
Tingginya biaya pendidikan membuat orangtua ragu apakah mampu menyekolahkan anak di sekolah impian. Tapi, bukan berarti para orangtua tidak bisa mengusahakan biaya pendidikan anak hingga ke perguruan tinggi.
Salah satu cara agar orangtua tidak kesulitan dalam membiayai sekolah anak adalah dengan menyiapkan dana pendidikan sejak dini. Menurut Financial Planner Ila Abulrahman, menyiapkan dana pendidikan idealnya dilakukan setelah kelahiran anak.
“Sesegera mungkin setelah kelahirannya atau selambat-lambatnya saat ini masih lebih baik, dibanding esok, lusa atau nanti-nanti,” ujar Ila.
Dikatakan Ila, ketika dana pendidikan disiapkan sejak dini, maka jangka waktu yang tersedia untuk mengumpulkan dana lebih panjang dan semakin rendah pula beban keuangan yang dirasakan di kemudian nanti.
Hal senada juga diungkapkan perencana keuangan sekaligus founder Mitra Rencana Edukasi, Mike Rini. Ia menyarankan para orangtua mulai mengalokasikan sekian persen dari penghasilan untuk tabungan pendidikan anak.
Mike pun memberikan gambaran bagaimana cara mengalokasikan penghasilan untuk kebutuhan hidup, biaya cicilan dan investasi atau tabungan. Ia membuat skema 50:30:20 dalam membagi penghasilan, yang artinya maksimal 50 persen dari gaji digunakan untuk biaya hidup, 30 persen untuk cicilan, dan sisanya 20 persen untuk investasi atau tabungan.
Namun, Mike mengingatkan bahwa 20 persen tidak hanya untuk dana pendidikan, melainkan ada pula pos dana pensiun serta dana darurat yang mesti diisi.
“Saya kira 10-15 persen untuk persiapan dana pendidikan,” katanya.
Selain itu, Mike juga menegaskan jumlah persentase tersebut berlaku untuk semua anak dalam keluarga. Jadi, harus dialokasikan secara proporsional untuk seluruh jumlah anak, bukan dikalikan dengan jumlah anak.
Angka Putus Sekolah Meningkat
Putus sekolah masih menjadi fenomena yang belum terselesaikan di dunia pendidikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka putus sekolah di Indonesia meningkat sejak tahun 2019-2022. Angka putus sekolah meningkat mulai dari jenjang pendidikan yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi, meski tidak semuanya karena alasan ekonomi.
Angka putus sekolah di jenjang SD mencapai 0,13 persen pada 2022, atau naik 0,01 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada jenjang SMP, angka putus sekolah tercatat sebesar 1,06 persen pada 2022. Angka ini juga meningkat 0,16 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 0,90 persen. Lalu di tingkat SMA angka putus sekolah mencapai 1,38 persen pada 2022, yang juga naik 0.26 persen dari 2021.
“Ini menunjukkan terdapat 13 anak dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang tersebut,” kata pendiri Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) Ruth Andriani.
Sementara itu, BPS melalui Survey Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 mengungkapkan, 76 persen keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Sebagian besar, yaitu 67 persen di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya 8,7 persen dikarenakan anak harus mencari nafkah.
Data lainnya dari Laporan Stastitik Pendidikan Tinggi 2020 menunjukkan, sebanyak 601.333 mahasiswa putus kuliah pada 2020. Menurut laporan tersebut, perguruan tinggi swasta (PTS) paling banyak menyumbang angka putus sekolah, yaitu sebanyak 478.826 orang atau 79,5 persen mahasiswa putus sekolah dari PTS.
BACA JUGA:
Di urutan kedua, mahasiswa putus kuliah berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) yaitu sebanyak 101.758 orang. Lalu mahasiswa putus kuliah yang berasal dari perguruan tinggi agama (PTA) sebanyak 18.284 orang dan perguruan tinggi kementerian/lembaga lain (PTK) sebanyak 3.395 orang.
Menyiapkan dana pendidikan memang tidak mudah, tapi bisa diupayakan dengan menjadikan pendidikan anak sebagai salah satu prioritas dalam mengelola keuangan. Menyiapkan dana pendidikan sedini mungkin juga diyakini dapat meringankan beban di kemudian hari, sehingga insiden kesulitan membayar uang sekolah atau kuliah lebih bisa dihindari.