JAKARTA – Pernyataan Presiden Joko Widodo soal presiden boleh kampanye membuat gempar masyarakat Indonesia. Namun Jokowi menyebut pernyataannya disalahartikan, sementara analis politik menilai akan sulit bagi Sang Presiden bersikap netral pada Pilpres 2024.
Pernyataan Jokowi terkait presiden yang boleh kampanye Pilpres pertama kali ia lontarkan pada Rabu (24/1/2024) kepada wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma. Dalam kesempatan tersebut, eks Wali Kota Solo ini ditanya mengapa menteri bisa menjadi tim sukses salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Jokowi kemudian menjawab bahwa hal itu sah-sah saja.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh lho kampanye, boleh lho memihak," kata Jokowi.
Ia juga menekankan, yang terpenting kampanye itu tidak menggunakan fasilitas negara.
Pernyataan Jokowi itu langsung menghebohkan dunia maya. Nama Jokowi bahkan masuk trending topic X. Lebih dari 190.000 tweet membahas soal Jokowi, terutama setelah ia melontarkan pernyataan kontroversi tersebut.
Sadar ucapannya menimbulkan polemik, Jokowi kemudian memberikan klarifikasi. Sambil membawa sebuah kertas besar, Sang Presiden menjelaskan bahwa berdasarkan pasal 299 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.
Ia juga menunjuk pasal 281, yang menyebut kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden wakil presiden harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali fasilitas pengamanan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Jokowi berkilah, ucapannya di Lanud Halim Perdanakusuma disalahtafsirkan.
“Udah jelas semuanya kok. Sekali lagi jangan ditarik kemana-mana. Jangan diinterpretasikan kemana-mana. Saya hanya menyampaikan ketentuan aturan perundang-undangan, karena ditanya,” jelas Jokowi dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (26/1/2024).
Menjadi Bola Panas
Tapi pernyataan Jokowi mengenai presiden yang boleh kampanye terlanjur menjadi bola panas. Apalagi, ucapan tersebut keluar di tengah keraguan masyarakat soal netralitas dia menjelang Pilpres 2024.
Jokowi juga disebut memanfaatkan fasilitas negara untuk berkampanye, serta melakukan abuse of power pada Pilpres tahun ini, di mana putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden nomor urut dua, mendampingi Prabowo Subianto.
Belum lama ini, seseorang mengacungkan dalam dua jari dari dalam mobil kepresidenan Indonesia 1. Pose dua jari ini terekam dalam sebuah potongan video yang viral di media sosial. Dalam video terlihat seseorang yang berada di sisi kiri bangku belakang mobil mengacungkan dua jari. Tidak terlihat siapa sosok tersebut, namun dalam video ia mengenakan kemeja putih.
Pose dua jari ini identik dengan pasangan Prabowo-Gibran. Yang menjadi masalah, video tersebut diduga terjadi saat Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo sedang melakukan kunjungan kerja di Salatiga, Jawa Tengah, pada 23 Januari 2024. Artinya, jika yang mengacungkan dua jari itu adalah Jokowi, maka ia dianggap melakukan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.
Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Centre) Andriadi Achmad mengatakan akan sulit bagi Jokowi untuk bersikap netral, dan menyembunyikan keberpihakannya kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Andriadi, meski presiden diizinkan kampanye melalui undang-undang dengan sejumlah syarat, seperti tidak memanfaatkan fasilitas negara dan harus mengajukan cuti di luar tanggungan negara, sebaiknya Jokowi tidak terlibat dalam kampanye.
“Menurut saya Presiden Jokowi sulit untuk netral dan menyembunyikan keberpihakannya kepada pasangan Kandidat Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Sebetulnya tidak ada larangan bagi Jokowi untuk kampanye, akan tetapi Jokowi mesti mengajukan cuti kepada presiden atau dirinya sendiri,” Andriadi kepada VOI.
“Sudah jelas Jokowi boleh kampanye, namun sebagai pemimpin yang tidak mencalonkan diri lebih baik Jokowi tidak ikut dalam kampanye, karena masyarakat sudah paham tanpa ikut kampanye pun Jokowi sudah pasti mendukung putranya Gibran Rakabuming Raka berpasangan dengan Prabowo Subianto,” imbuhnya.
BACA JUGA:
Andriadi merujuk pada pengalaman di Pilpres 2004 dan 2009, ketika Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai petahanan mencalonkan diri, mereka cuti saat kampanye.
“Akan tetapi, tahun 2014 ketika SBY tidak mencalonkan diri, dia bahkan netral dan tidak mendukung paslon mana pun,” kata dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia.
Pintu Kecurangan Sistematis
Jokowi juga mendapat kritik dari pengamat sosial politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun. Menurut Ubedilah, Jokowi secara terang-terangan melanggar undang-undang. Ia juga menggarisbawahi Pasal 48 ayat 1 huruf b UU Pemilu, yang menetapkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus melaporkan pelaksanaan seluruh tahapan Pemilu dan tugas-tugas lainnya kepada DPR dan presiden.
"Artinya posisi struktural itu, KPU lapor ke presiden, menunjukkan bahwa presiden bukan menjadi bagian yang terlibat dalam proses kontestasi elektoral, agar tidak ada abuse of power dalam proses pemilihan umum," kata Ubedilah dalam keterangan tertulisnya.
Lalu pada Pasal 22 ayat 1 dan 2 UU tersebut, menyebut bahwa presiden memiliki peran dalam membentuk tim seleksi untuk menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR.
"Posisi menetapkan tim seleksi KPU itu kewajiban presiden supaya netral dalam seluruh proses Pemilu," kata Ubedilah.
Lebih lanjut, dosen UNJ itu menganggap ucapan Jokowi sangat berbahaya, karena jika posisi presiden tidak netral sejak menyusun tim seleksi anggota KPU, maka ada kemungkinan seluruh anggota KPU adalah ‘orangnya’ presiden.
"Ini pintu kecurangan sistemik. Pada titik inilah presiden berkewajiban netral," kata Ubedilah menegaskan.