JAKARTA - Rencana Pemerintah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan menuai banyak penolakan dari parlemen.
Wacana tersebut tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Padahal di UU aslinya, jasa pendidikan masuk kategori jasa bebas PPN.
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah dengan tegas menolak rencana pemerintah lantaran setiap warga negara dijamin haknya untuk mendapatkan pendidikan. Pemerintah juga diamanatkan berkewajiban untuk membiayai pendidikan warganya.
"Ini jelas tertuang dalam pasal 31 UUD 1945," ujar Himmatul kepada wartawan, Jumat, 11 Juni.
Menurutnya, rencana ini sangat tidak etis sekaligus inkonstitusional. Sebab kini justru masyarakat dibebankan kewajiban pajak dimana seharusnya pemerintah lah yang harus membiayai pendidikan warganya.
"Jadi, jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi," tegas politikus Gerindra itu.
BACA JUGA:
Legislator DKI Jakarta itu mengatakan, pengenaan pajak pada sektor pendidikan akan membuat biaya pendidikan meningkat sehingga akan membebani masyarakat. Tentunya, kata dia, akan menciptakan ketidakadilan karena pendidikan semakin tidak terjangkau masyarakat.
Hal ini, sambungnya, jelas bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif.
Selain itu, tambah Himmatul, pengenaan pajak pada sektor pendidikan di tengah pandemi akan menambah tinggi angka putus sekolah. Terlebih pandemi yang masih berlangsung telah menurunkan ketahanan ekonomi masyarakat yang berdampak pada ketidakmampuan warga membayar biaya pendidikan.
"Pengenaan pajak pendidikan bisa menambah tinggi angka putus sekolah sehingga menurunkan angka partisipasi sekolah di Indonesia. Kondisi demikian tentu paradoks dengan visi pemerintah sendiri, yakni mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia maju," tandasnya.