Transportasi Publik, Masalah Penting yang Luput dari Visi Misi Capres – Cawapres 2024
Bus listrik Transjakarta parkir di depo bus Bianglala Metropolitan, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (23/11/2023). (Antara/Suci Nurhaliza/aa)

Bagikan:

JAKARTA – Transportasi publik memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Mulai dari penghematan biaya, mengurai kemacetan, hingga berdampak pada kesehatan. Selain itu, transportasi publik juga dinilai menjadi bagian penting menuju Indonesia Emas 2045.

Transportasi publik yang tidak merata sudah menjadi permasalahan di Indonesia sejak lama. Menurut Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, pengadaan transportasi publik di Indonesia tidak merata dan hanya fokus di Pulau Jawa.

Capres nomor urut satu Anies Baswedan, Capres nomor urut dua Prabowo Subianto, dan Capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo berpegangan tangan usai beradu gagasan dalam debat perdana Capres dan Cawapres 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). (Antara/Galih Pradipta/YU/aa)

Djoko berharap tiga calon presiden dan calon presiden Indonesia, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dapat menyelesaikan isu-isu transportasi umum yang sudah sering dibahas di Indonesia.

Tak Acuhkan Transportasi Publik

Sayangnya, tiga Capres-Cawapres yang akan bertarung di Pilpres 2024 dianggap masih kurang acuh perihal transportasi dan keselamatan di jalan.

Hal ini dikemukakan Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi atau Instran, Deddy Herlambang ketiga kandidat hanya fokus pada pembangunan infrastruktur yang tampak secara fisik, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan.

Padahal, masalah transportasi di Indonesia tidak hanya itu, tapi juga mengenai keselamatan di jalan yang justru luput dari gagasan mereka.

“Angka kecelakaan tiap hari selalu bertambah. Siapapun presidennya jumlah kecelakan di jalan tidak pernah turun. Dari ketiga Paslon itu, belum ada gagasan yang mengurangi kecelakaan,” ujarnya, dikutip dari Tempo.

Kecelakaan di jalan menjadi penyebab kematian kedua terbesar setelah penyakit jantung. Deddy menyebutkan, terdapat 22 ribu orang meninggal akibat kecelakaan per tahunnya dan 70 hingga 80 persen dari jumlah itu adalah kecelakaan karena motor.

Foto udara sejumlah kendaraan roda empat melaju perlahan di Jalan Tol Trans Jawa, Semarang-Solo Km 441 B, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (25/4/2023). (Antara/Aji Styawan/YU)

Mengenai visi-misi Anies-Muhaimin terkait transportasi, Deddy menilai program yang diberikan hanya berkaca pada DKI Jakarta. Padahal, itu belum tentu bisa diterapkan di daerah lain. Deddy juga mengkritik gagasan Anies membangun kereta api di Kalimantan, karena menurutnya butuh studi lebih lanjut.

“Anies ingin bangun kereta di Kalimantan, demand-nya gimana. Siapa yang mau naik. Kalau di Jabodetabek pasti banyak yang naik. Kalau di Kalimantan siapa yang akan naik?” ujarnya.

Deddy juga mengkritik janji Prabowo-Gibran yang akan memberikan kepastian hukum bagi ojek online atau Ojol agar diakui sebagai transportasi umum jika mereka terpilih menduduki kursi RI1. Menurutnya, janji tersebut tak lebih dari sekadar menjadikan ojol sebagai komoditas politik.

“Ojol ini kan jumlahnya banyak. Di Jabodetabek saja jumlahnya 1 juta. Bisa dijadikan komoditas politik,” cetusnya.

Deddy mengatakan tidak mungkin mengakui Ojol sebagai transportasi umum karena pertimbangan keselamatan. Apalagi, diketahui bahwa 80 persen kecelakaan terjadi pada motor. Deddy khawatir risiko keselamatan di jalan semakin besar jika Ojol diresmikan sebagai angkutan umum.

Salah satu armada bus Batik Solo Trans. (Istimewa)

Ojol, kata Deddy, bukan transportasi umum karena sifatnya angkutan privat yang hanya bisa menghantar satu penumpang saja. Selain itu, dengan disahkannya Ojol sebagai transportasi umum, sebenarnya akan menambah masalah baru.

Angkutan massal seperti kereta, bus, dan angkot akan semakin bersaing dengan Ojol. Segmentasi dari angkutan massal akan terganggu dengan Ojol. Apalagi, Prabowo-Gibran berjanji untuk membuat tarif angkutan massal murah. 

“Kalau yang satu (Ojol) nanti diresmikan, satunya (angkutan umum) dibuat lebih murah, ya malah lebih konflik lagi,” kata Deddy.

Sementara terkait visi misi Ganjar-Mahfud, Deddy menilai pasangan nomor tiga ini tidak menyuguhkan gagasan baru yang ditawarkan Ganjar-Mahfud. Deddy menyayangkan, visi misi yang diberikan masih berkaca pada transportasi di kota-kota besar, utamanya di DKI Jakarta.

“Jangan terjebak menjadikan Jakarta sebagai laboratorium transportasi. Di kota-kota lain perlu juga jagi laboratorium. Di NTT misalnya, bisa dijadikan laboratorium karena belum ada jalannya,” ujar Deddy mengimbuhkan.

Hal senada juga diungkapkan Djoko, yang menyebut Indonesia mengalami krisis angkutan umum dan darurat keselamatan lalu lintas. Djoko berujar, pembangunan transportasi publik, seperti kereta masih berpusat di Jawa, di antaranya kereta cepat Whoosh, LRT Jabodebek, MRT Jakarta, aktivasi jalur ke Garut, kereta rel listrik Yogyakarta-Solo.

“Tidak ada program keselamatan lalu lintas di semua calon presiden dan wakil presiden,” kata Djoko kepada VOI.

“Belum ada target jumlah kota untuk membenahi angkutan umum dari ketiga pasangan ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Semoga saja program angkutan umum itu tidak sekedar memberikan harapan tentunya juga realita,” kata Djoko menyambung.

Rekam Jejak Tiga Kandidat

Djoko Setijowarno menyoroti rekam jejak tiga kandidat dalam menangani masalah transportasi. Capres nomor urut satu Anies Baswedan berpengalaman mengelola Bus Transjakarta dengan nilai subsidi Rp4,3 triliun per tahun dan sudah dapat menjangkau 88 persen wilayah Jakarta.

Sementara Cawapres nomor urut dua Gibran Rakabuming Raka menyisihkan Rp15 miliar dari APBD untuk mensubsidi Bus Batik Solo Trans (BST). Sedangkan Ganjar Prabowo juga mengelola Bus Transjateng pada 2023 dengan mengucurkan subsidi Rp104 miliar dari APBD Provinsi Jateng.

Menurut Djoko, pengalaman Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi modal baginya untuk mengetahui detail permasalahan transportasi di kota-kota besar. Tapi, Djoko juga menggarisbawahi bahwa keberhasilan Anies mengelola transportasi di ibu kota tidak lepas dari peran sebelumnya.

“Tanpa gubernur sebelumnya, Anies enggak mungkin bisa melanjutkan, karena program transportasi itu minimal butuh waktu 5 tahun. Itu kalau berhasil, kalau gagal? Anies terpilih sudah nyaman, jalur busway 13 koridor sudah terbangun. Pedestrian zaman Ahok sudah terbangun, tinggal terusin,” kata Djoko.

Ganjar Pranowo saat menjabat Gubernur Jateng, bersama Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiadi meluncurkan secara simbolis transportasi massal Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jateng Purwokerto-Purbalingga, di Terminal Bulu Pitu Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (13/8/2018). (Antara/Idhad Zakaria/kye/18)

Untuk pasangan nomor urut dua, Djoko lebih menyoroti Gibran yang dinilai lebih memiliki pengalaman mengelola transportasi dibandingkan Prabowo. Maklum, Gibran menukangi Solo selama lebih dari dua tahun terakhir.

Djoko tidak menampik transportasi umum di Solo berhasil berkat peran Dinas Perhubungan Kota Solo yang kuat. Selain itu, ia menyebut Solo adalah satu-satunya kota Indonesia yang angkutan umumnya berbadan hukum sesuai undang-undang. 

Terakhir, Ganjar dinilai memiliki pengalaman yang mirip dengan Anies, yaitu berpengalaman mengelola Bus Transjateng. Djoko berharap program serupa bisa dikembangkan di seluruh provinsi di Indonesia.

“Provinsi selain DKI Jakarta yang sukses itu Jawa Tengah. Bus Transjateng punya 7 koridor sekarang. Masyarakat cukup bayar Rp 4.000, untuk buruh pelajar hanya Rp 2.000. Program ini bisa dikembangkan ke seluruh provinsi,” ujar Djoko lagi.