Ancaman Inflasi Sangat Nyata, Mampukah Indonesia Bertahan di Bawah Lima Persen?
Presiden Joko Widodo membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 18 Agustus 2022. (BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Bagikan:

JAKARTA - Dunia tengah berada dalam kondisi tidak baik saat ini. Pandemi COVID-19 yang sudah terjadi sejak 2020 telah mengobrak-abrik kondisi perekonomian negara-negara dunia. Merusak rantai pasokan global karena hampir semua negara melakukan pembatasan ketat sebagai upaya menangkal penyebaran virus.

Sekiranya medio 2021, sejumlah negara mulai bangkit dari resesi. Kondisi memang belum sepenuhnya normal. Pergerakan permintaan pasar yang besar belum bisa diimbangi dengan ketersediaan produk barang dan jasa. Belum lagi, kondisi akses distribusi, baik laut, darat, maupun udara yang masih tersendat.

Itu sebabnya, kenaikan harga, termasuk pangan dan energi tentu tak bisa dihindari, hingga dalam waktu berkelanjutan. Di sisi lain, agresi militer Rusia ke Ukraina semakin memperparah keadaan. Menghambat pemulihan ekonomi dan kian memicu inflasi di banyak negara.

Bahkan, menurut Anton Hendranata, Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), inflasi di beberapa negara sudah dalam tahap kronis dan abnormal.

“Sehingga muncul kekhawatiran perekonomian dunia mengalami stagflasi, yaitu resesi yang dibarengi inflasi tinggi,” ucap Anton dalam tulisannya bertajuk ‘Inflasi Kronis’ di Kompas.

Tengok Amerika Serikat yang inflasinya mencapai 8,6 persen pada Mei 2022. Padahal, dalam kondisi nomal hanya 1,5-2,5 persen. Lalu, Uni Eropa dari 0,7-1,7 persen melonjak hingga 8,6 persen pada Juni 2022, Jepang dari 0,2-0,8 persen ke 2,5 persen pada Mei 2022, dan terparah turki yang mencapai 73,5 persen pada Mei 2022.

Sedangkan di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, Tingkat inflasi tahun kalender (Januari–Juni) 2022 sebesar 3,19 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Juni 2022 terhadap Juni 2021) sebesar 4,35 persen.

Inflasi di beberapa negara sudah dalam tahap kronis dan abnormal, sehingga muncul kekhawatiran perekonomian dunia mengalami stagflasi. (Pixabay)

“Komponen inti pada Juni 2022 mengalami inflasi sebesar 0,19 persen. Tingkat inflasi komponen inti tahun kalender (Januari–Juni) 2022 sebesar 1,82 persen dan tingkat inflasi komponen inti tahun ke tahun (Juni 2022 terhadap Juni 2021) sebesar 2,63 persen,” tulis BPS.

Itulah mengapa, Presiden Jokowi terus mewanti-wanti jajarannya jangan lengah. Jangan hanya sekadar bekerja rutin dan standar saja, tetapi harus bekerja secara detail.

Menurut Jokowi, lonjakan angka inflasi per Juli 2022 hingga 4,94 persen bisa dikendalikan karena besarnya subsidi energi dari APBN yang mencapai Rp502 triliun.

“Apakah terus-menerus APBN akan kuat? Pertalite, Pertamax, solar, elpiji, listrik itu bukan harga yang sebenarnya, bukan harga keekonomian, itu harga yang disubsidi oleh pemerintah,” katanya. 

Lihat kondisi terkini, harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan meski berfluktuasi. Semisal minyak mentah Brent, Anton menyebut sudah naik sekitar 186 persen sejak 2018.

Pada perdagangan Kamis (18/8), melansir Reuters, harga minyak mentah Brent sudah US$96,12 per barel dan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) US$90,27.

Sementara, Indonesia mau tak mau harus impor minyak mentah karena hasil produksi dalam negeri tidak mencukupi. Benny Lubiantara, Deputi Perencanaan SKK Migas dalam acara Energy Outlook 2022 pada Februari lalu, sempat mengungkapkan produksi minyak mentah di Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 ribu barel per hari.

“Sedangkan konsumsinya mencapai 1,4-1,5 juta barel per hari. Target pemerintah pada 2030 1 juta barel per hari. Itupun masih defisit dan tetap harus impor,” katanya.

Nilai Impor Melonjak

BPS melaporkan nilai impor energi minyak dan gas Indonesia pada semester pertama 2022 melonjak 68,98 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Mencapai US$19,46 miliar atau Rp291,96 triliun (dengan kurs Rp15 ribu per dolar AS).

Dengan rincian, nilai impor migas berupa hasil minyak (minyak olahan mencapai US$12,01 miliar, melonjak dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang hanya 6,18 miliar dolar AS.

“Nilai impor hasil minyak ini porsinya mencapai 61,7 persen dari total nilai impor migas nasional,” tulis BPS.

Lalu, nilai impor minyak mentah 4,74 miliar dolar AS, naik 28,68 persen dari harga sebelumnya 3,68 miliar dolar AS . Terakhir, nilai impor gas 2,72 miliar dolar AS, melonjak 64,03 persen.

Melonjaknya nilai impor migas Indonesia tidak terlepas dari naiknya harga minyak mentah dunia sebesar 44,74 persen (year to date/ytd) ke level 114,81 dolar AS per barel pada akhir Juni 2022 dibanding posisi 31 Desember 2021 yang masih berada di posisi 79,32 dolar AS per barel. Impor migas juga menjadi lebih mahal akibat menguatnya nilai dolar Amerika terhadap mata uang utama dunia.  

Alhasil, sebagai upaya mengatasi pembengkakan subsidi energi yang bersumber dari APBN, muncul wacana menaikkan harga pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter.

Indonesia mau tak mau harus impor minyak mentah karena hasil produksi dalam negeri tidak mencukupi. Sementara, harga minyak mentah dunia terus melonjak. (Pixabay)

Dari laporan Pertamina, kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif , konsumsi Pertalite hingga Juli 2022 telah menembus angka 16,8 juta kiloliter atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota yang ditetapkan sebesar 23 juta kiloliter. Angka konsumsi yang tinggi itu membuat kuota Pertalite hanya tersisa 6,2 juta kiloliter.

“Apabila pemerintah menambah kuota BBM subsidi, maka beban APBN untuk subsidi bisa semakin membengkak hingga melebihi Rp600 triliun. Namun jika pemerintah tidak menambah kuota BBM subsidi, maka kelangkaan akan terjadi di berbagai SPBU yang berpotensi menyulut keresahan sosial,” kata Arifin dilansir dari Antara, Selasa (16/8).

Sangat Dilematis

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda meminta pemerintah tetap harus mempertimbangkan dampak yang muncul bila wacana kenaikan Pertalite jadi dilakukan, terutama dampak terhadap 40 persen kelompok rumah tangga terbawah dan UMKM.

Kenaikan harga BBM bersubsidi kemungkinan justru akan semakin memperburuk inflasi yang saat ini masih terbilang terkendali. Sebab, kenaikan BBM tersebut pasti akan mengerek kenaikan harga-harga lainnya.

“Jika BBM bersubsidi tidak dinaikkan, beban APBN semakin berat. Skema yang mungkin tepat dengan menaikkan harga BBM non subsidi, tetapi perlu ada antisipasi dari sisi penerima manfaat subsidi dan stok,” kata Huda dilansir dari tempo.co, Rabu (17/8).

Namun, Anton menilai penyebab utama inflasi di Indonesia adalah masalah suplai dan permintaan yang tak seimbang. Kenaikan permintaan relatif kecil. Dia menilai langkah pemerintah melalui instrumen APBN sangat tepat untuk mengurangi tekanan inflasi energi dengan menaikkan subsidi energi dan listrik pada 2022.

“Tingginya harga komoditas dan aktivitas ekonomi yang meningkat menyebabkan pendapatan negara naik 12,7 persen dan ini diharapkan jadi buffer kenaikan subsidi dan bansos untuk menjaga daya beli masyarakat,” katanya.

Wacana kenaikan harga Pertalite terus menguat dari harga Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter. (Antara/Arif Firmansyah)

Kendati begitu, inflasi bukan hanya menyoal energi. Indonesia patut bersyukur karena harga pangan terutama beras masih terkendali di kisaran Rp10 ribu per liter. Harga tersebut jauh lebih murah jika dibandingkan harga beras di sejumlah negara, misalnya di Jepang Rp66.000, di Korea Selatan Rp54.000, di Amerika Serikat Rp53.000, dan di Tiongkok Rp26.000.

Namun, tetap harus waspada. Presiden Jokowi meminta bupati, wali kota, dan gubernur bekerja sama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) untuk terus memantau kenaikan-kenaikan harga yang terjadi.

“Tanyakan di daerah kita apa yang harganya naik yang menyebabkan inflasi. Bisa saja beras, bisa saja tadi bawang merah, bisa saja cabai dan dicek. Tim Pengendali Inflasi Pusat cek daerah mana yang memiliki pasokan cabai yang melimpah atau pasokan beras yang melimpah? Disambungkan, ini harus disambungkan karena negara ini negara besar,” jelas Presiden Jokowi.

“Enggak bisa lagi kita bekerja rutinitas. Enggak bisa kita bekerja hanya melihat makronya saja, enggak akan jalan, percaya saya. Makro dilihat, mikro dilihat, lebih lagi harus detail juga dilihat lewat angka-angka dan data-data. Karena memang keadaannya tidak normal,” pesan Presiden Jokowi.