Ekonom: Kebijakan Ekonomi Indonesia Adaptif terhadap Ancaman Krisis Global
Ekonom Bank Permata Josua Pardede. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan ekonomi Indonesia akan mampu bertahan di tengah ancaman suramnya perekonomian global.

Sebab, menurut dia, pemerintah Indonesia memiliki kebijakan moneter dan fiskal yang adaptif.

"Fiskal kita disiplin, dimana tahun depan defisit akan kembali ke 3 persen. Sementara negara lain berjibaku dengan tingkat utang yang tinggi. Dengan pengelolaan utang yang relatif baik, dengan kebijakan moneter yang tidak seagresif Amerika. Tambahan postur ekonomi kita sendiri sangat didorong konsumsi rumah tangga," kata Joshua, Kamis, 13 Oktober.

Joshua mengatakan, konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50 persen dari total PDB nasional. Kemudian penopang berikutnya adalah ekspor.

"Artinya saat ekonomi dunia melambat, ekspor akan melambat, tetapi fakta kontribusi ekspor tidak besar daripada konsumsi," ungkap Joshua.

Karena itu, Joshua mengatakan, pekerjaan rumah pemerintah adalah menjaga konsumsi masyarakat.

"Saya kira, asal konsumsi kita tetap terjaga, pemerintah memprioritaskan belanja belanja untuk mendukung daya beli masyarakat, untuk mendukung pelaku UMKM yang notabene adalah backbone ekonomi kita sendiri," jelas Joshua.

Dengan kekuatan ekonomi domestik dan kebijakan pemerintah yang tepat, Joshua menilai Indonesia diperkirakan tidak akan terlalu dalam masuk dalam resesi global.

Daya Beli

Hal senada dikatakan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda.

Nailul memprediksi kondisi ekonomi Indonesia masih bisa bertahan menghadapi ancaman resesi global.

Pasalnya, konsumsi rumah tangga menempati porsi lebih besar dalam ekonomi Indonesia.

Hal itulah yang mampu membantu mengatasi pelemahan ekonomi akibat faktor global.

"Ekonomi kita masih cukup terjaga karena 50 persen lebih ekonomi kita ditopang oleh ekonomi domestik. Makanya dengan permintaan masyarakat yang tinggi, pertumbuhan ekonomi kita masih di kisaran 5 persen," terangnya.

Meski demikian, kata Nailul, ekonomi domestik bisa menjadi bumerang bagi Indonesia jika daya beli masyarakat menurun. Sebab, tidak mudah memulihkan daya beli masyarakat ketika sudah terlanjur jatuh.

Karena itu, Nailul mengingatkan agar pemerintah menjaga inflasi inti agar tidak melonjak terlalu tinggi.

"Namun demikian, jika daya beli masyarakat terpukul, bisa lama pulihnya karena pemulihan daya beli ini cukup lama dibandingkan ekspor-impor kita. Makanya dari awal disampaikan perlu menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga tingkat inflasi, terutama inflasi inti," tegasnya.

Nailul mengingatkan pemerintah untuk menahan inflasi sebisa mungkin agar tidak melebihi 10 persen karena dampak susulannya akan sangat berbahaya bagi konsumsi rumah tangga yang menopang perekonomian Indonesia.

"Jika inflasi menggila sampai ke angka dua digit, bisa berbahaya bagi konsumsi rumah tangga," terusnya.

Menurut dia, meski ekonomi Indonesia sekarang masih dalam tahap yang aman, pemerintah sudah harus menyiapkan strategi jitu untuk mengendalikan inflasi ke depan ketika kondisi ekonomi global semakin buruk.

"Makanya kalo dengan tingkat inflasi sekarang, pemerintah masih berani bilang aman. Padahal tidak aman banget, terkait masalah inflasi," pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ekonomi Indonesia akan mampu menghadapi ancaman krisis ekonomi global.

"Indonesia faktor eksternalnya masih sangat kuat. Sehingga Indonesia tidak termasuk dalam negara yang rentan terhadap masalah keuangan," kata Menko Airlangga.

Namun, Ketua Umum Partai Golkar ini mengingatkan bahaya Perfect Storm, tantangan 5C yaitu COVID-19 yang belum selesai, konflik Ukraina yang berkepanjangan, climate change atau perubahan iklim, commodity price yang melonjak, dan cost of living dampak dari inflasi.