JAKARTA - Tim peneliti China berhasil menemukan metode tes COVID-19 baru, membantu orang untuk terhindar dari ketidaknyamanan di tenggorokan atau hidung untuk pengujian asam nukleat COVID-19.
Bahkan, metode baru ini diklaim menghemat waktu, karena metode pengujian baru hanya mengharuskan pasien untuk menghembuskan napas ke dalam tas selama 30 detik, dengan waktu 5-10 menit untuk menyelesaikan analisis.
Mengutip Global Times 20 Oktober, tim peneliti yang dipimpin Yao Maosheng, Profesor Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknik Lingkungan di Universitas Peking menyebut, tes COVID-19 ini sangat akurat dan dapat membedakan antara pembawa COVID-19, orang sehat dan pasien penyakit infeksi pernapasan lainnya.
Penelitian tersebut berdasarkan ekspirasi dari 74 pasien COVID-19, 30 pasien dengan infeksi saluran pernapasan lainnya dan 87 orang sehat. Ada 12 sinyal senyawa organik volatil (VOC) yang terbawa napas dari pernafasan mereka, yang dapat dianggap sebagai 'sidik jari.'
Tingkat propanol yang lebih tinggi terdeteksi pada napas yang dihembuskan pasien COVID-19 dan infeksi pernapasan lainnya daripada subjek sehat. Sementara aseton yang terbawa napas ditemukan secara signifikan lebih rendah untuk pasien COVID-19, dibandingkan mereka yang memiliki infeksi pernapasan lainnya, kata Yao.
Berdasarkan 12 sinyal VOC, sebuah algoritme dibuat, dan verifikasi algoritme menemukan bahwa akurasinya berkisar antara 91 hingga 100 persen.
Prosedur cepat dan akurasi tinggi memberikan metode baru, keunggulan dibandingkan dengan pengujian cepat berbasis antigen.
"Teknologi baru ini tidak memerlukan reagen apa pun dan memiliki batas deteksi yang lebih rendah untuk mendeteksi spesies VOC," sebut Yao.
Metode baru ini juga murah, dengan biaya 10 yuan atau sekitar 1,5 dolar Amerika Serikat, dibandingkan dengan tes asam nukleat yang mengenakan biaya 80 yuan untuk pengambil.
Tes ini mampu mengidentifikasi orang yang terinfeksi COVID-19 dengan tes usap tenggorokan negatif palsu. Infeksi tanpa gejala dan pra-gejala dapat dideteksi lebih awal.
BACA JUGA:
Selain itu, penelitian ini dilakukan bersama oleh Laboratorium Simulasi Lingkungan dan Pengendalian Polusi Universitas Peking dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Distrik Chaoyang di Beijing.
"Ini dapat digunakan dalam berbagai skenario, termasuk Olimpiade Musim Dingin Beijing," sebut Yao. Tetapi ahli mencatat, karena China tidak memiliki banyak kasus, data lebih lanjut dan tes validasi mungkin diperlukan sebelum teknologi diterapkan.