Bagikan:

JAKARTA - Partai Golkar bertekad mengembalikan kejayaan Pemilu 2004 pada Pemilu 2024. Untuk meraih kemenangan pada Pemilu 2024, Partai Golkar menyatakan akan mengurangi konflik internal.

Waketum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menjelaskan nilai-nilai dan pengalaman yang ditinggalkan para senior, seperti Akbar Tandjung, dipertahankan oleh Partai Golkar. Ada pula nilai-nilai yang ditinggalkan senior Golkar itu diremajakan oleh pengurus Golkar saat ini.

"Jadi yang diperlukan ini adalah ketahanan yang sudah dimiliki Partai Golkar yang itu berdasarkan pengalaman pengelolaan organisasi yang senior-senior kita dulu itu, nilai-nilai itu kita pertahankan, tapi kemudian kita remajakan kembali, kita lakukan peremajaan, penyesuaian-penyesuaian, adaptasi terhadap realitas yang kita hadapi," ujar Doli dalam seminar daring nasional 'Dua Dasawarsa Kemenangan Golkar 2004-2024', Sabtu, 16 Oktober. 

Situasi atau era saat ini, menurut Doli, memang berbeda dengan pada 2004. Dengan tekad yang kuat memenangi Pemilu 2024, Doli merasa malu jika tak bisa mengulangi kejayaan Golkar pada Pemilu 2004.

"Oleh karena itu, kami sekarang sedang berupaya, jadi kami merasa generasi yang malu kalau kemudian tak bisa mengulangi setelah 2004 itu tidak bisa menang lagi. Oleh karena itu, kami bertekad bagaimana mengembalikan kejayaan Golkar pada 2024 setelah 20 tahun kemudian, setelah 2004, baru menang untuk pertama kali," katanya.

 

Lantas, apa strategi dan saran untuk Golkar agar kembali merenggut kejayaannya?

 

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, menilai Partai Golkar harus membangun koalisi solid agar berhasil memenangkan Pilpres 2024. Terlebih, Partai Golkar kekeh mencalonkan ketua umumnya, Airlangga Hartarto. 

 

Koalisi solid itu, kata Dedi, salah satunya ditandai dengan kembalinya seluruh partai Golkar yang saat ini sudah sukses memimpin partai berbeda. 

 

"Misalnya yang berhasil menggabungkan Gerindra, NasDem, dan partai yang kecil seperti Hanura yang semuanya berasal dari Golkar, disatukan dalam koalisi kuning. Mungkin saja menjadi potensi kemenangan Pilpres bagi Golkar," ujar Dedi kepada VOI, Senin, 18 Oktober. 

 

"Itu salah satu strateginya, karena koalisi parpol eks kader Golkar kan juga punya porsi yang sangat kuat terutama Gerindra dan NasDem," sambungnya. 

Hanya saja, lanjut Dedi, pekerjaan beratnya adalah bagaimana Airlangga Hartarto menyingkirkan Gerindra dan Prabowo Subianto untuk mau mengalah demi kemenangan. Sebab, seandainya terbentuk Koalisi Kuning ini tentu juga bakal menguntungkan Gerindra. Apalagi, selama ini Gerindra ada diposisi yang sulit untuk memuncaki perolehan suara dan tokohnya, Prabowo Subianto.

"Kalau koalisi kuning ini terbentuk akan ada perdebatan apakah yang diajukan tetap Prabowo sebagai tokoh utama ataukah Airlangga Hartarto. Kalau ikut tren, saya kira Prabowo perlu dipertimbangkan untuk dihindari," terang Dedi.

"Karena sejak kalah dari pilpres 2019 Prabowo selalu menunjukkan tingkat penurunan. Sementara Airlangga Hartarto meskipun posisinya masih kecil tetapi trennya naik," tambahnya. 

 

Apabila Airlangga berhasil menggandeng beberapa parpol eks Golkar, menurut Dedi, mungkin saja kondisi bisa berubah. Airlangga bisa menjadi calon presiden dengan peluang menang yang besar. 

 

"Tinggal menunggu tahun depan saja kalau misalnya NasDem belum juga punya tokoh potensial maka kemungkinan besar akan bisa diajak bergabung dengan Golkar," kata Dedi. 

"Tetapi kalau di 2022 atau 2023 NasDem punya tokoh potensial, entah tokoh baru yang masuk atau kadernya yang menonjol, Golkar akan menemui kesulitan menggabungkan NasDem," lanjutnya.  

Oleh karena itu, Dedi menyarankan beberapa hal. Pertama, karakter ketokohan Airlangga harus terus dibangun. Terutama mencitrakan bahwa Airlangga adalah tokoh yang layak dipertimbangkan oleh publik. 

"Dari catatan catatan prestasi termasuk juga catatan internal Golkar maupun di pemerintah. Airlangga punya kelebihan salah satunya adalah begitu kental nuansa politik buruknya. Artinya berbeda dengan prabowo Subianto yang mungkin sebagian besar pemilihnya sudah mendekonstruksi sudah menurunkan persepsi negatif terhadap Prabowo Subianto," kata Dedi.

Kedua, Golkar memanfaatkan jaringannya yang kuat sekali. Yakni mampu menggerakkan semua pengaruh di tingkat daerah termasuk menjaga partai tetap bersih dari tindakan korupsi. 

 

"Paling tidak tegas terhadap kader yang melakukan korupsi maka citra partai Golkar akan makin baik dan itu bisa menjadi pertimbangan publik di 2024," demikian Dedi. 

Hal serupa sebelumnya pernah dikemukakan Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra. Ia mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan Partai Golkar agar kejayaan pada Pemilu 2004 bisa terulang.

Hal itu disampaikan Azyumardi dalam seminar daring nasional 'Dua Dasawarsa Kemenangan Golkar 2004-2024', Sabtu, 16 Oktober. Azyumardi bicara soal partai-partai sempalan Golkar.

"Yang harus diatasi adalah ketika kesulitan Golkar pasca-2004 itu, itu adalah ketika beberapa tokohnya menyempal menjadi splinter mendirikan partai baru, partai sendiri, seperti Wiranto, Partai Hanura, tapi saingan berat itu masih NasDem, Surya Paloh, Prabowo, Partai Gerindra, itu kan asalnya dari Partai Golkar," kata Azyumardi.

Tokoh lama Golkar, seperti Wiranto, Surya Paloh, dan Prabowo, menurut Azyumardi, perlu dirangkul agar Golkar dapat menang pada 2024. Menurut Azyumardi, setidaknya para tokoh itu bisa 'ditarik kembali' untuk mendapatkan suara.

"Nah, bagaimana cara Golkar itu, sedikit-banyak saya kira orang-orang Golkar dulu lari ke Surya Paloh NasDem dan kepada Partai Gerindra, sedikit-banyak itu pasti. Saya kira, ini kalau ingin berjaya kembali, ini harus dirangkul kembali caranya itu. Harus ada langkah-langkah mengkonsolidasikan kelompok-kelompok yang splinter atau menyempal dari Golkar ini, dari induknya Golkar," ujarnya.

Sepaket dengan Pemilu 2024, menurut Azyumardi, capres potensial Partai Golkar juga perlu disiapkan. Terkait itu, Azyumardi menilai Partai Golkar dapat menggunakan influencer untuk menjelaskan program kepada masyarakat.

"Mungkin political marketing-nya harus ditingkatkan, harus lebih banyak lagi influencer-nya, mungkin bukan buzzer-lah tapi influencer," ucapnya.