Rancang Keamanan Siber, Jepang Sebut China, Rusia dan Korea Utara Sebagai Ancaman
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Katsunobu Kato. (Wikimedia Commons/内閣官房内閣広報室)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Jepang pada Hari Senin mengadopsi rancangan strategi keamanan siber untuk tiga tahun ke depan, dengan menyebut China, Rusia dan Korea Utara sebagai ancaman serangan siber untuk pertama kalinya.

Strategi tersebut, yang diharapkan akan segera disahkan oleh Kabinet, mengatakan situasi di dunia maya mengandung 'risiko berkembang pesat menjadi situasi kritis', dengan ketiga negara tersebut diduga terlibat dalam aktivitas siber yang agresif.

Rancangan itu juga menyebut Jepang akan mengambil tindakan penanggulangan yang tegas, menggunakan setiap cara dan kemampuan efektif yang tersedia, termasuk tanggapan diplomatik dan penuntutan pidana.

Kepala Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato mendesak anggota Markas Strategis Keamanan Siber, untuk bekerja dengan pemerintah daerah sambil memberikan pertimbangan yang cukup, untuk mendapatkan kepercayaan publik dan terus menerapkan langkah-langkah yang dinyatakan dalam strategi."

"Jepang tidak mengkonfirmasi adanya serangan siber yang mempengaruhi Olimpiade Tokyo dan Paralimpiade musim panas ini," katanya, mengutip Kyodo News 27 September.

Selain itu, Jepang akan mempercepat kerja sama di bidang siber dengan mitranya dalam kerangka Quad, bersama dengan Amerika Serikat, Australia dan India, serta Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), untuk mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, kata rancangan strategi dalam upaya nyata untuk melawan pengaruh China yang semakin besar.

Dari sudut pandang menghilangkan risiko terhadap kegiatan ekonomi, strategi tersebut mencatat kebutuhan untuk memastikan infrastruktur penting, seperti kabel bawah laut terlindungi dengan baik dan untuk menciptakan standar keamanan dan keandalan baru untuk perangkat Teknologi Informasi (TI).

Dengan peluncuran Badan Digital pada 1 September untuk mempromosikan digitalisasi negara, rancangan tersebut menyerukan promosi simultan keamanan siber dan reformasi digital.

Untuk diketahui, rancangan strategi tersebut akan menggantikan strategi saat ini yang diadopsi pada Juli 2018, memicu kritik dari China sebagai 'fitnah tanpa 'dasar' terhadap Beijing dan Rusia ketika disusun pada Juli.