JAKARTA - Menurut sebuah pos blog yang diterbitkan oleh Microsoft Corp pada Kamis, 7 September, hacker Korea Utara telah menargetkan diplomat Rusia. Bahkan mereka telah berhasil meretas sebuah institut penelitian penerbangan Rusia pada awal tahun ini.
Microsoft tidak mengidentifikasi korban secara khusus dan memberikan sedikit rincian atau bukti, tetapi mengatakan serangan peretasan tersebut terjadi pada bulan Maret tahun ini.
"Kelompok ancaman Korea Utara mungkin sedang memanfaatkan peluang untuk melakukan pengumpulan intelijen terhadap entitas-entitas Rusia karena fokus negara tersebut pada perang di Ukraina," demikian laporan tersebut, dikutip Reuters.
Misi Korea Utara di Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak segera merespons pesan saat dimintai komentar atas laporan itu. Kedutaan Besar Rusia di Washington juga tidak segera merespons email dari media.
Memata-matai organisasi militer dan diplomatik rival adalah prosedur operasional standar bagi skuad peretasan yang digunakan oleh agensi intelijen di seluruh dunia. Korea Utara telah berkali-kali dituduh menggunakan peretas untuk menargetkan sasaran terkait pertahanan dan diplomasi di Korea Selatan, Amerika Serikat, dan tempat lain.
Namun, tuduhan bahwa Pyongyang memata-matai sekutunya sendiri, Rusia, dapat menjadi lebih canggung karena kedua negara semakin mendekat seiring perang di Ukraina.
BACA JUGA:
Bulan lalu, Reuters dan peneliti dari perusahaan keamanan siber SentinelOne Inc mengungkapkan bagaimana mata-mata Korea Utara telah meretas pengembang rudal Rusia utama selama setidaknya lima bulan tahun lalu - yang memungkinkan mereka untuk mengumpulkan data intelijen tentang rudal hipersonik dan teknologi propelan roket Rusia.
Tuduhan Microsoft tersebut disampaikan dalam laporan tentang siberespionase di Asia Timur, yang juga mencakup laporan sebelumnya oleh perusahaan teknologi Amerika tentang peretas asal China yang menargetkan infrastruktur kritis Amerika Serikat, serta tuduhan baru tentang operasi propaganda China, yang disebutkan oleh Microsoft telah "terus meningkat" dengan menggunakan kecerdasan buatan dan pengaruh sosial media.
Kedutaan Besar China tidak segera memberikan tanggapan atas pesan yang mencari komentar. Beijing secara rutin membantah tuduhan subversi siber.