Bagikan:

JAKARTA - Korea Utara ingin membuka kembali perundingan nuklir dengan Amerika Serikat, jika Donald Trump memenangi pemilihan presiden November mendatang, sambil berupaya merancang strategi negosiasi baru, kata seorang diplomat Pyongyang yang membelot ke Korea Selatan belum lama ini kepada Reuters.

Nama Ri Il Gyu ramai dibicarakan bulan lalu, setelah meninggalkan Kuba untuk ke Korea Selatan, menjadikannya diplomat Pyongyang dengan pangkat tertinggi yang membelot sejak 2016.

Dalam wawancara pertamanya dengan media internasional, Ri mengatakan Korut telah menetapkan, Rusia, Jepang dan Negeri Paman Sam sebagai prioritas utama kebijakan luar negerinya untuk tahun ini dan seterusnya.

Ri mengatakan, sementara memperkuat hubungan dengan Rusia, Pyongyang ingin membuka kembali perundingan nuklir jika Trump, yang terlibat dalam pertikaian sengit dan diplomasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Korea Utara pada masa jabatan sebelumnya, memenangkan pemilihan presiden pada Bulan November.

Dijelaskannya, para diplomat Pyongyang tengah memetakan strategi untuk skenario tersebut, guna mencabut sanksi program senjata, status negara sponsor teroris dan memeroleh bantuan ekonomi.

Komentarnya mengisyaratkan kemungkinan perubahan sikap dari Korea Utara saat ini, setelah pernyataan baru-baru ini yang mengabaikan kemungkinan dialog dengan Washington dan peringatan akan konfrontasi bersenjata.

"Kim Jong Un tidak tahu banyak tentang hubungan internasional dan diplomasi, atau cara membuat penilaian strategis," katanya, melansir Reuters 1 Agustus.

"Kali ini, kementerian luar negeri pasti akan mendapatkan kekuasaan dan mengambil alih, dan tidak akan mudah bagi Trump untuk mengikat tangan dan kaki Korea Utara lagi selama empat tahun tanpa memberikan apa pun," terang.

Diketahui, Trump pernah melakukan pertemuan dengan Kim Jong-un. Pertemuan puncak keduanya di Vietnam pada tahun 2019 gagal karena sanksi. Ri menyalahkan keputusan Pemimpin Kim untuk mempercayakan diplomasi nuklir kepada komandan militer yang "tidak berpengalaman dan tidak tahu apa-apa". Sebelumnya, kedua pemimpin juga bertemu di Singapura pada Juni 2018, dan setelah Vietnam, mereka bertemu di zona demiliterisasi kedua Korea (DMZ) pada Juni 2019.

Ia bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Korea Utara pada 1999, dalam laporan Reuters sebelumnya. Salah satu tugas Ri di kedutaan besar adalah menghalangi upaya jalinan hubungan diplomatik Kuba dengan Korea Selatan, menurut laporan Chosun Ilbo.

"Saya telah melakukan segalanya untuk menghalangi hal itu terjadi, tetapi membangun hubungan dengan Kuba adalah hal terbaik yang telah dilakukan Korea Selatan sejak tahun lalu," katanya.

"Itu adalah contoh model tentang bagaimana gelombang sejarah telah berubah, dan ke mana peradaban normal masyarakat internasional sedang menuju," tandasnya.

Ri terbang keluar dari Kuba bersama istri dan anaknya pada bulan lalu.

"Saya membeli tiket penerbangan dan menelepon istri dan anak saya untuk memberi tahu mereka tentang keputusan saya, enam jam sebelum pembelotan. Saya tidak mengatakan Korea Selatan, tetapi mengatakan, mari kita tinggal di luar negeri," katanya

Jauh sebelumnya, setelah belajar di sekolah Prancis di Aljazair dan tinggal di Kuba bersama mendiang ayahnya, yang merupakan reporter media pemerintah, Ri mengatakan ia telah membayangkan kehidupan di Korea Selatan sejak kecil, tetapi tidak pernah bertindak untuk melarikan diri sampai ia diganggu oleh seorang rekan diplomatik karena menolak permintaan suapnya.

Kemudian momen yang menentukan datang ketika Pyongyang langsung menolak permintaannya untuk mendapatkan perawatan medis di Meksiko, dengan biaya sendiri, karena cakram saraf di lehernya pecah.

"Itu meledakkan semua kebencian yang selama ini saya pendam terhadap rezim tersebut," katanya.