JAKARTA - Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in menyarankan Joe Biden melakukan pembicaraan dengan Korea Utara (Korut) untuk melanjutkan kemajuan yang telah dibuat Presiden Donald Trump bersama pemimpin Korut Kim Jong-un selama ini. Pernyataan Moon disampaikan jelang pelantikan Biden 20 Januari mendatang.
"Pelantikan pemerintahan Biden akan menandai titik balik untuk memulai dialog AS-Korea Utara yang baru, dialog Selatan-Utara, untuk mewarisi pencapaian yang telah dibuat di bawah pemerintahan Trump," kata Moon dalam konferensi pers Tahun Baru, Senin, 18 Januari.
"Dialog dapat meningkatkan kemajuan jika kita memulai kembali dari deklarasi Singapura dan mencari langkah konkret dalam negosiasi," Moon melanjutkan.
Biden akan mulai menjabat di tengah kebuntuan berkepanjangan dalam negosiasi yang bertujuan untuk menghentikan program nuklir dan rudal Korut dengan imbalan bantuan sanksi AS. Moon sendiri telah menawarkan diri menjadi mediator antara Pyongyang dan Washington.
Moon mengatakan bakal mencari kesempatan awal untuk mempromosikan Korut sebagai prioritas kebijakan luar negeri Biden. Artinya, ia akan menindaklanjuti kesepakatan yang dicapai Trump dan Kim dalam pertemuan puncak pertama mereka di Singapura pada 2018 silam.
Dalam pernyataan bersama usai pertemuan di Singapura, kedua pemimpin berjanji membangun hubungan baru dan bekerja menuju denuklirisasi semenanjung Korea. Namun, usai KTT kedua Trump dan Kim di Vietnam pada 2019, keduanya tidak mencapai kesepakatan. Pembicaraan tingkat kerja berikutnya pun gagal.
BACA JUGA:
Kim berjanji meningkatkan kemampuan nuklir Korut di kongres Partai Buruh yang berkuasa pekan lalu. Dan janji itu, salah satunya menyoroti perlunya membuka kembali negosiasi untuk kesepakatan damai, kata Moon.
Moon mengatakan isu terkait latihan militer bersama Korea Selatan-AS, yang telah lama dituding Pyongyang sebagai latihan perang, dapat didiskusikan dengan menghidupkan kembali panel militer antar-Korea. Moon juga menyerukan solusi diplomatik dengan Jepang guna mencegah rencana penjualan aset perusahaan Jepang untuk memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa, dengan mengatakan hal itu "tidak diinginkan" untuk hubungan bilateral.
Kedua negara berselisih tentang warisan dari pemerintahan kolonial Jepang 1910-1945. Beberapa mantan buruh telah mendapatkan perintah pengadilan untuk menyita properti domestik perusahaan Jepang.