Tak Bertemu Ombudsman-Komnas Ham, ICW Nilai Jokowi Inkonsisten Soal TWK Novel Baswedan Dkk
Presiden Joko Widodo (DOK Setkab)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera bertemu dengan Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk membicarakan temuan mereka terkait Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Desakan ini muncul setelah KPK memutuskan untuk memecat 57 pegawainya, termasuk Novel Baswedan karena tak lolos dalam tes sebagai syarat alih status kepegawaian sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.

Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, pertemuan antara Presiden Jokowi bersama Ombudsman RI dan Komnas HAM dirasa perlu apalagi Pimpinan KPK selama ini keliru menafsirkan putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu, Firli Bahuri dkk juga dinilai sengaja taak mempertimbangkan temuan dua lembaga tersebut yang menyatakan telah terjadi maladministrasi dan pelanggaran hak.

"Untuk itu Presiden sebaiknya segera mengagendakan pertemuan dengan Ombudsman dan Komnas HAM sebelum mengambil sikap terkait dengan Tes Wawasan Kebangsaan KPK. Sebab, jika tidak, ICW khawatir ada kelompok lain yang menyelinap dan memberikan informasi keliru," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya kepada VOI, Kamis, 16 September.

Namun, jika Presiden Jokowi tak mau bertemu dengan dua lembaga itu karena menganggap apa yang terjadi di KPK ini hanya sekadar urusan administrasi maka ada beberapa kesimpulan yang dibuat ICW. Pertama, ini mengindikasikan eks Gubernur DKI Jakarta tersebut tidak konsisten dengan pernyataannya.

"Sebab, pada pertengahan Mei lalu Presiden secara khusus mengatakan bahwa TWK tidak serta merta dijadikan dasar memberhentikan pegawai," tegas Kurnia.

Berikutnya, ICW menduga Presiden tidak paham permasalah utama di balik tes tersebut. Menurut Kurnia, Jokowi harusnya mencermati puluhan pegawai itu dipecat atau diberhentikan dengan paksa lewat dalih tak lolos TWK.

"Padahal di balik TWK ada siasat yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berintegritas di KPK," ungkapnya.

Ketiga, jika Jokowi tak mengambil sikap maka dia dianggap tak berkontribusi apapun dalam agenda penguatan KPK. Apalagi, mantan Wali Kota Solo menyetujui revisi UU KPK dan telah memilih calon pimpinan yang bermasalah dan kini malah memimpin lembaga tersebut.

Padahal, sambung Kurnia, Jokowi harusnya punya kewenangan untuk mencegah hal tersebut terjadi dan hal ini bisa dilakukan sekarang.

"Berdasarkan regulasi, presiden bisa menyelamatkan KPK dengan mengambil alih kewenangan birokrasi di lembaga antirasuah itu," ujarnya.

Dan terakhir, Kurnia menganggap Presiden Jokowi abai dalam isu pemberantasan korupsi jika tak bersikap. Padahal, isu mengenai penegakan hukum terutama yang dilakukan KPK sebenarnya jadi indikator utama masyarakat dalam menilai komitmen negara memberantas korupsi.

"Maka dari itu, ketika Presiden memilih untuk tidak bersikap terkait KPK, maka masyarakat akan kembali memberikan rapor merah kepada Presiden karena selalu mengesampingkan isu pemberantasan korupsi," katanya.

"Jangan lupa, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sudah anjlok tahun 2020. Ini membuktikkan kekeliruan Presiden dalam menentukan arah pemberantasan korupsi," pungkas Kurnia.