JAKARTA - Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Hotman Tambunan mempertanyakan tanggung jawab Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pemberhentian 57 pegawai komisi antirasuah yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"Masa sih Bapak Presiden yang negarawan, yang peduli pada kemajuan bangsa, membiarkan dan memaklumi adanya maladministrasi berdasarkan temuan lembaga negara Ombudsman RI dan adanya pelanggaran HAM atas temuan Komnas HAM dalam administrasi pemerintahannya," ungkap Hotman kepada wartawan yang dikutip Kamis, 16 September.
Selain itu, dia juga menyesalkan keputusan Firli Bahuri dkk memecatnya dan 56 pegawai lainnya. Apalagi, pemecatan ini dilakukan dengan berlindung dibalik aturan perundangan namun di sisi lain mereka mengabaikan ketentuan konstitusi seperti menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Presiden Jokowi.
Meski begitu, Hotman mengaku maklum dengan sikap Pimpinan KPK yang mengabaikan rekomendasi tersebut. Karena, sambung dia, Firli Bahuri dkk saja kerap melanggar etik.
"Pimpinan KPK bertindak seperti itu saya maklum wong etik saja mereka abaikan," tegasnya.
Lebih lanjut, Hotman juga menilai Pimpinan KPK hanya berpaku pada aturan normatif berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara terhadap pelanggaran dan maladministrasi tersebut, komisi antirasuah justru cenderung tutup mata.
"Ini seperti KPK berwenang menyidik tapi dalam penyidikan mereka pukuli orang, mereka intimidasi orang. Itu kan tak sah penyidikannya tetapi selalu berdalih KPK berwenang menyidik seperti itu analoginya," ujarnya.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, 57 pegawai yang dinyatakan tak lulus TWK akan diberhentikan pada akhir September mendatang. Keputusan ini diambil karena mereka tak bisa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
Hanya saja, ketidakbisaan mereka menjadi ASN bukan karena aturan perundangan seperti Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 melainkan karena hasil asesmen mereka.
KPK juga memastikan para pegawai telah diberikan kesempatan yang sama meski mereka telah melewati batas usia atau pernah berhenti menjadi ASN sebelumnya.
Adapun pemberhentian tersebut dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah (PP) nomor 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK pasal 18 dan 19 ayat (3) huruf d dengan alasan pemberhentian karena tuntutan organisasi.
Sebagai informasi, sebanyak 75 pegawai KPK awalnya dinyatakan tidak lolos atau tidak memenuhi syarat dalam proses asesmen TWK sebagai syarat alih status pegawai. Dari jumlah tersebut, 24 pegawai di antaranya bisa dibina meski belakangan hanya 18 pegawai yang ikut pelatihan Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan.
Sehingga total pegawai yang dianggap tak bisa dibina dan tak mau menjalankan pelatihan karena permintaan mereka akan kejelasan hasil TWK belum diberikan berjumlah 57 orang.
Mereka yang tak lagi bisa bekerja di KPK karena tak lolos TWK dan dianggap tak bisa lagi dibina melalui pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan di antaranya penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, penyelidik KPK Harun Al-Rasyid, serta puluhan nama lainnya.