Bagikan:

JAKARTA - Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didepak karena gagal dalam Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mengaku kaget mendengar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ingin menjadikan mereka sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Korps Bhayangkara.

Selain kaget, wacana yang dilontarkan Listyo ini mereka anggap makin membuktikan pelaksanaan TWK yang menjadi syarat alih status kepegawaian di komisi antirasuah bermasalah.

Pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hotman Tambunan mengapresiasi keinginan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menarik dia dan 55 pegawai lain menjadi ASN Polri. Dia merupakan satu dari puluhan pegawai yang akan diberhentikan KPK pada hari ini, Kamis 30 September karena gagal beralih status menjadi ASN sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.

"Terus terang kami terkejut ya dan terima kasih atas perhatian Kapolri," kata Hotman kepada wartawan, Rabu, 29 September.

Hanya saja, dengan tawaran tersebut membuatnya makin yakin tes yang dijalankannya beberapa waktu lalu memang bermasalah. "Satu hal buat kami bahwa (tawaran, red) itu membuktikan ada problem dalam TWK kami," tegas Hotman.

Ia juga menganggap tawaran yang diberikan oleh Listyo menjadi pematah stigma yang dihasilkan setelah mereka gagal lulus dalam tes tersebut. Apalagi, Pimpinan KPK pernah mengatakan puluhan pegawai yang diberhentikan adalah mereka yang tidak bisa lagi dibina setelah mendapat ponten merah dari asesor yang bertugas saat pelaksanaan TWK.

"Itu yang di luar dugaan kan dan membuktikan TWK kita bermasalah. Polisi saja mau rekrut kita. Saya sih melihatnya seperti itu," ungkap Hotman.

Akankah diterima?

Hotman mengaku hingga saat ini belum ada komunikasi maupun informasi langsung terkait keinginan Listyo untuk menariknya ke Korps Bhayangkara. Menurutnya, segala informasi dia dengar justru dari media.

Selain itu, Hotman juga mengatakan puluhan pegawai masih melakukan konsolidasi lebih jauh sekaligus memastikan apakah pernyataan Listyo merupakan sikap pemerintah atas rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM. Dua lembaga itu telah menyatakan TWK bermasalah dari mulai maladministrasi hingga melanggar hak para pegawai.

Senada, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Giri Suprapdiono mengatakan ia dan puluhan pegawai masih terus membicarakan perihal tawaran dari Listyo. Sehingga mereka belum memberikan jawaban karena masih banyak juga hal yang sebenarnya perlu dipertanyakan dari rencana ini.

"Banyak pertanyaan dan hal yang harus diklarifikasi terkait rencana kebijakan ini. Nanti akan kami sampaikan secara resmi setelah ada kejelasan sikap kami," kata Giri kepada wartawan.

Sepakat dengan dua koleganya, pegawai nonaktif lainnya Ita Khoiriyah atau Tata juga mengatakan mereka belum mau memberikan sikap karena ingin mendengar detail dari rencana penarikan tersebut. "Kami masih menunggu penjelasan lebih detail karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan oleh kami semua," ujarnya.

Lagipula, Tata mengungkap perjuangan para pegawai yang melawan hasil TWK bukan hanya karena kehilangan pekerjaan semata. "Tapi stigmatisasi, maladministrasi, dan pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan TWK alih status pegawai KPK," tegasn Tata.

Diberitakan sebelumnya, 57 pegawai dinyatakan tak bisa lagi bekerja di KPK karena mereka tak bisa menjadi ASN sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 per akhir September mendatang. Para pegawai tersebut di antaranya penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, penyelidik KPK Harun Al-Rasyid, serta puluhan nama lainnya.

Komisi antirasuah berdalih ketidakbisaan mereka menjadi ASN bukan karena aturan perundangan seperti Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 melainkan karena hasil asesmen mereka.

Jelang pemberhentian dilakukan, Kapolri mengaku ingin merekrut 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK untuk jadi ASN Polri. Keinginan ini disampaikan lewat surat kepada Presiden Jokowi pekan lalu dan disetujui.

Adapun alasan Sigit ingin merekrut puluhan pegawai ini karena Polri membutuhkan SDM untuk memperkuat lini penindakan kasus korupsi. Terlebih, Polri saat ini juga fokus dalam penanganan pemulihan COVID-19.