JAKARTA - Setelah didepak dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), Novel Baswedan dkk mendirikan Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute.
Institusi antikorupsi ini diumumkan setelah mereka resmi tak lagi bekerja di komisi antirasuah per Kamis, 30 September kemarin. Pengumumannya pun disampaikan di mimbar orasi yang digelar untuk berpamitan.
"Dengan ini kami mendirikan IM 57+ Institute yang kemudian ke depannya akan menjadi satu wadah untuk bersatu berkolaborasi melanjutkan kerja-kerja pemberantasan korupsi dengan cara kita," kata pegawai KPK nonaktif, M Praswad Nugraha saat berorasi di Kantor Dewan Pengawas KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 30 September.
Institut ini nantinya akan bersatu dengan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi untuk melakukan kerja yang akan disesuaikan dengan kemampuan mereka saat masih bekerja di KPK.
Praswad juga mengatakan institusi ini dibangun karena mereka merasa berutang kepada masyarakat. "Bukan rakyat yang berutang kepada kami tapi kami yang berutang kepada rakyat Indonesia untuk mengembalikan seluruh ilmu, seluruh pengetahuan. Seluruh skill yang kami dapatkan selama 15 tahun, 20 tahun di KPK harus dikembalikan tunai ke rakyat Indonesia," tegasnya.
BACA JUGA:
Adapun mereka yang nantinya mengisi IM 57+ Institute adalah eks Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Hery Muryanto; eks Direktur PJKAKI KPK Sujanarko; eks penyidik KPK Novel Baswedan; eks Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono; serta eks Kabiro SDM KPK Chandra SR sebagai Executive Board.
Selain itu, nantinya ada juga bagian Investigation Board yang terdiri dari para penyidik dan penyelidik senior, Law and Strategic Research Board yang diisi ahli hukum dan peneliti senior, serta Education and Training Board terdiri atas jajaran ahli pendidikan dan pelatihan antikorupsi.
Lantas bagaimana tawaran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang ingin menjadikan Novel Baswedan dkk?
Hingga saat ini, belum ada sikap yang diambil oleh 56 pegawai komisi antirasuah tersebut. Mereka kompak masih ingin mendengarkan lebih lanjut perihal tawaran menjadi ASN Polri mengingat mereka mengetahui rencana ini dari media.
"Banyak pertanyaan dan hal yang harus diklarifikasi terkait rencana kebijakan ini. Nanti akan kami sampaikan secara resmi setelah ada kejelasan sikap kami," kata mantan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono kepada wartawan.
Namun, tawaran yang dianggap mengejutkan tersebut dianggap menjadi pematah stigma yang selama ini melekat pada puluhan pegawai yang dinyatakan gagal dalam TWK di mana mereka diberi label merah dan dianggap tak bisa lagi di bina.
"Itu yang di luar dugaan kan dan membuktikan TWK kita bermasalah. Polisi saja mau rekrut kita. Saya sih melihatnya seperti itu," kata mantan pegawai KPK, Hotman Tambunan.
Diberitakan sebelumnya, 58 pegawai dinyatakan tak bisa lagi bekerja di KPK karena mereka tak bisa menjadi ASN sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 per akhir September mendatang.
Para pegawai tersebut di antaranya penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, penyelidik KPK Harun Al-Rasyid, serta puluhan nama lainnya termasuk seorang penyidik muda Lakso Anindito yang ikut TWK susulan karena baru selesai bertugas. KPK berdalih mereka tak bisa jadi ASN bukan karena aturan perundangan seperti Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 melainkan karena hasil asesmen mereka.
Jelang pemberhentian dilakukan, Kapolri mengaku ingin merekrut 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK untuk jadi ASN Polri. Keinginan ini disampaikan lewat surat kepada Presiden Jokowi pekan lalu dan disetujui.
Ada pun alasan Sigit ingin merekrut puluhan pegawai ini karena Polri membutuhkan SDM untuk memperkuat lini penindakan kasus korupsi. Terlebih, Polri saat ini juga fokus dalam penanganan pemulihan COVID-19.