Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, realisasi belanja anggaran kesehatan sebesar Rp87,5 triliun dinilai masih rendah tak semata-mata adalah tanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sebab, menurutnya, serapan anggaran tersebut juga untuk beberapa bidang.

Ani, sapaan akrabnya mengatakan, rendahnya serapan tersebut juga karena panjangnya proses pencairan karena dilakukannya secara bertahap.

"Jadi dalam hal ini ada yang berpersepsi bahwa anggaran kesehatan baru cair sedikit, seolah-olah itu hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Sebenarnya tidak juga," tuturnya, konfensi pers virtual bertajuk 'Kondisi Ekonomi Terkini Indonesia dan Proyeksi Akhir 2020', Selasa, 30 Juni.

Menurut Ani, anggaran kesehatan itu pun tidak semuanya disalurkan melalui Kemenkes. Anggaran tersebut juga disalurkan melalui gugus tugas penanganan COVID-19 baik nasional maupun daerah, serta ada pula dalam bentuk insentif pajak kepada rumah sakit yang melakukan penanganan pandemi.

"Ada yang merupakan belanja di tempatnya gugus tugas, ada yang di tempatnya Kementerian Kesehatan. Ada juga yang kami berikan dalam bentuk penanganan untuk BPJS Kesehatan, sehingga mereka mampu membayar rumah sakit," jelasnya.

Lebih lanjut, Ani menegaskan, langkah-langkah di bidang kesehatan ini adalah tanggung jawab bersama. Artinya tidak hanya Kementerian Kesehatan yang harus bertanggung jawab tetapi juga gugus tugas nasional dan daerah.

Permasalahan rendahnya serapan anggaran kesehatan untuk penanganan COVID-19 ini diungkapkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo. Pada rapat kabinet 18 Juni, Jokowi menyindir buruknya kinerja para menteri menghadapi pandemi.

Salah satu yang dipersoalkan Jokowi adalah rendahnya realisasi anggaran kesehatan, yang mencapai triliunan rupiah, untuk berbagai program penanganan pandemi.

"Bidang kesehatan dianggarkan Rp75 triliun, baru keluar 1,53 persen. Uang beredar di masyarakat ke-rem ke situ semu," tutur Jokowi.

Rincian Penggunaan Anggaran

Bendahara negara ini kemudian merinci peruntukan anggaran kesehatan tersebut. Contohnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) di gugus tugas. Lalu, ada juga untuk penanganan BPJS Kesehatan agar mampu membayar klaim rumah sakit.

Selain itu, anggaran juga diberikan dalam bentuk insentif pajak langsung ke rumah sakit untuk jasa kesehatan. Sehingga, kata Sri Mulyani, menyebut belanja kesehatan ini sebagai sebuah tanggung jawab bersama.

Rincian lengkapnya yaitu Rp65,8 triliun untuk belanja penanganan COVID-19, Rp5,9 triliun untuk insentif tenaga medis, Rp300 miliar untuk santunan kematian, Rp3 triliun untuk bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan, Rp 3,5 triliun untuk gugus tugas COVID-19, dan terakhir insentif perpajakan di bidang kesehatan sebesar Rp9,05 triliun.

Meski demikian, Sri Mulyani berkomitmen untuk melacak penggunaan anggaran ini agar semakin terserap. Sehingga, dampaknya untuk memulihkan sosial dan ekonomi akan lebih besar.

"Kami akan tracking, karena kalau semakin bisa digunakan belanja kepada pihak-pihak yang memang membutuhkan, untuk mengatasi masalah ekonomi terutama bidang kesehatan itu menjadi lebih baik. Sehingga kemungkinan bisa memulihkan kondisi sosial ekonomi menjadi lebih besar," tuturnya.