Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah pusat mengkritik penyerapan anggaran belanja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang masih rendah. Dalam kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat pandemi, seharunya realisasi penyerapannya bisa dipercepat.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, rendahnya realisasi belanja daerah disebabkan karena dana pemerintah masih terparkir di bank. Tito berujar, belanja gabungan provinsi dan kabupaten/kota tinggal 2,5 bulan tapi baru 51,83 persen. Angka ini di bawah rata-rata nasional.

"Provinsi 54,93 persen dari 34 provinsi. Kabupaten/kota hanya 50,60 persen. Ini berarti uangnya ke mana kalau enggak dibelanjakan? Dalam data keuangannya, ternyata ada yang disimpan di bank sebanyak Rp278 triliun total," katanya, dalam 'Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2020' yang digelar secara virtual, Kamis, 22 Oktober.

Adapun rinciannya, untuk dana milik gabungan provinsi di bank ada sebesar Rp76,78 triliun dan dana ini diparkir dalam bentuk deposito. Sementara, dana milik kabupaten/kota yang di bank sebanyak Rp167,13 triliun. Dana juga disimpan dalam bentuk deposito.

"Ini disimpan untuk dapat bunganya. Tidak diedarkan ke masayarakat. Mungkin diedarnya oleh bank, bank terafiliasi dengan pengusaha tertentu yang mampu. Saya enggak tahu apakah ada pengusaha kecil yang diberikan prioritas," tuturnya.

Tito mengatakan, hal ini menjadi salah satu penyebab realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) masih rendah. Realisasi APBD provinsi yang melampaui rata-rata anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 60,77 persen baru ada delapan provinsi.

Sementara realisasi APBD 23 provinsi lainnya di antara 40 persen sampai 60,77 persen. Sedangkan, ada tiga provinsi yang realisasi APBD di bawah 40 persen. Data diolah per 30 September 2020.

"Mendepositokan itu program tidak didikte oleh pemerintah. Tapi oleh pengusaha yang dapat program itu. Ini bisa tidak sinkron dengan program pemerintah pusat," katanya.

Tito meminta, kepala daerah segera menggunakan dana yang ada untuk kegiatan atau program daerah dalam rangka menangani krisis pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi. Terutama dalam menjaga tingkat inflasi yang kondusif. Apabila serapan masih rendah, Kemendagri akan mengambil langkah tegas.

"Saya mohon kiranya dalam waktu yang masih kurang lebih dua bulan ini dari kami sebagai pembina pengawas kami akan melakukan evaluasi mingguan, mana saja daerah yang belanjanya rendah kita akan dorong. Kalau memang susah didorong terpaksa Irjen Kemendagri akan turun untuk mengecek kemana dana ini, kenapa enggak turun, kenapa realisasinya rendah sekali," tuturnya.

Hingga Kuartal III Masih Minim

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan mencatat beberapa belanja pemda sampai dengan akhir kuartal ketiga masih minim. Khususnya belanja yang terkait dengan pemulihan ekonomi di tingkat daerah.

Dari sisi kesehatan, kata Sri Mulyani, belanja pemda baru mencapai 43 persen hingga akhir September. Dari total alokasi Rp30,4 triliun, baru Rp13,3 triliun di antaranya yang dibelanjakan sampai dengan akhir September. Padahal, anggaran itu bisa dimaksimalkan untuk membantu pencegahan dan penanganan COVID-19.

Realisasi yang rendah juga terjadi untuk belanja jaring pengaman sosial. Tingkat penyerapannya baru sekitar 51 persen, yaitu Rp11,7 triliun dari total alokasi Rp22,8 triliun. Sri Mulyani berharap, sisa 49 persen dari alokasi anggaran itu dapat segera diserap untuk membantu masyarakat.

Begitupun dengan penyerapan anggaran untuk mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pemda baru membelanjakan Rp2,6 triliun dari alokasi di APBD sebanyak Rp19,42 triliun sampai dengan akhir September. Artinya, baru sekitar 13,7 persen yang digunakan pemda untuk membantu UKM menghadapi tekanan ekonomi akibat pandemi.

Sri Mulyani mengatakan, rendahnya serapan anggaran di daerah itu menunjukkan ada halangan atau kendala yang perlu diselesaikan. Namun, kata dia, kendala tersebut bukan berarti pemerintah tidak memiliki uang atau dana.

"Banyak sekali halangan atau kendala di sisi non anggaran yang perlu diatasi bersama. Sehingga dunia usaha, masyarakat, bisa segera mendapatkan manfaat dari desain APBN dan APBD yang memang mengalami shock sangat besar akibat COVID-19. Namun ini sudah dimasukkan dalam struktur baru dan seharusnya bisa segera diakselerasi pelaksanaannya," tuturnya.