Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah daerah berstatus kuning dipersilakan melaksanakan kenormalan baru. Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo menganggap daerah tersebut sudah siap melaksanakan kenormalan baru karena tingkat penularan virus rendah. 

"Daerah-daerah yang statusnya telah menjadi kuning, risikonya rendah. Silakan saja untuk melanjutkan menuju kepada normal baru atau new normal," kata Doni dalam konferensi pers secara daring yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Kabinet, Kamis, 4 Januari.

Sementara untuk daerah zona merah, kata dia, harus bersabar terlebih dahulu. Sebab, lanjutnya, penerapan kenormalan baru di daerah berzona merah justru memperparah penularan virus COVID-19 di tengah masyarakat.

Doni senang ketika banyak daerah berlomba menekan angka penyebaran COVID-19.

"Kita lihat ada kompetisi di tengah-tengah masyarakat agar mereka semuanya bersatu padu untuk menjaga daerahnya," ungkap Doni.

Namun, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini menilai, tiap daerah punya karakteristik yang berbeda. Sehingga, penerapan kenormalan baru bakal didasari keadaan di daerah tersebut.

Doni mengingatkan pemerintah daerah harus melaksanakan sosialisasi pelaksanaan kenormalan baru tersebut kepada masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat bisa tetap disiplin dalam menerapkan kenormalan baru.

Setelah sosialisasi, katanya, langkah selanjutnya adalah melaksanakan simulasi. Dia menekankan, simulasi fase kenormalan baru adalah suatu yang sangat penting. "Tanpa adanya simulasi, diharapkan kegiatan ini (penerapan kenormalan baru) baiknya ditunda dulu," tegasnya.

"Karena yang risiko yang akan dihadapi tentu tidak mudah, tidak ringan, tidak kecil. Dengan demikian, proses ini menjadi hal yang perlu diperhatikan dengan sangat serius," imbuhnya.

Sebelumnya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 telah memetakan tiga zonasi penyebaran berdasarkan warna. Hijau merupakan wilayah belum terdampak, kuning merupakan wilayah berisiko rendah, oranye merupakan wilayah dengan risiko sedang, dan merah merupakan wilayah tingkat risiko tinggi.

Beberapa waktu yang lalu, Doni mengumumkan ada 102 kabupaten dan kota yang ada di zona hijau penyebaran COVID-19 yang bisa kembali beraktivitas. Tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Keputusan Doni merupakan tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo.

Adapun aktivitas yang kembali di buka adalah tempat ibadah, pasar, pertokoan, sarana transportasi umum, hotel, restoran, perkantoran, dan bidang lain yang dianggap aman dari penyebaran virus ini.

Perlunya memperhatikan kemampuan fasilitas kesehatan

Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI) Adib Khumaidi mengatakann, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam pelaksanaan fase kenormalan baru. Di antaranya, melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan.

"Pemerintah pusat dan daerah harus melakukan penilaian kemampuan pelayanan kesehatan, mapping terkait dengan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas, sarana prasarana seperti ruang ICU, ruang isolasi, ventilator, dan jumlah SDM dengan kualifikasi sesuai dengan standar pedoman penanganan COVID-19," kata Adib melalui keterangan tertulisnya.

Dia mengingatkan, pemerintah harus melakukan asesmen terhadap kemampuan fasilitas kesehatan. Hal ini dilakukan dengan tujuan memisahkan secara tegas fasilitas kesehatan terkait COVID-19 maupun yang bukan COVID-19.

Menurut Adib, pemisahan kemampuan fasilitas kesehatan tersebut perlu dilakukan agar perawatan pasien lebih optimal, efisiensi ketersediaan ruang perawatan khusus, serta efisiensi sumber daya manusia dan logistik.

Selain itu, pemisahan ini akan meminimalkan potensi terjadinya penularan, sambil memaksimalkan keberlangsungan perlengkapan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan.

Hal lain yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki strategi penanganan COVID-19 dengan menyiapkan rencana darurat. Rencana ini harus berbasis dengan data epidemiologis dan medis disertai dengan indikator dan paramater yang terukur objektif.

Rencana ini nantinya menjadi dasar acuan sistem yang akan dijalankan dengan melibatkan organisasi profesi kedokteran seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kesehatan, serta ahli di bidang epidemiologi untuk penilaiannya.

Kemudian, dalam pelaksanaannya, Adib meminta pemerintah tak terburu-buru dan melakukan sejumlah kajian sebelum menjalankannya.

"Pemerintah untuk tidak langsung melangkah ke adaptasi tatanan baru sebelum dilakukan kajian yang komprehensif dengan memperhatikan referensi epidemiologis dan medis serta membuat road map dan fase transisi dengan indikator yang terukur," ungkapnya.

Sedangkan terkait evaluasi fase ini, kata Adib, harus dibedakan secara nasional dan per daerah. Sehingga, fokus intervensi dari evaluasi itu berbasis dengan data yang kuat dengan memperhitungkan kearifan lokal dan karakter di tengah masyarakat.

Komunikasi dan informasi terkait protokol kesehatan juga harus diperhatikan pemerintah. Menurutnya, di tengah pagebluk COVID-19 harus ada sejumlah upaya preventif yang dilakukan agar masyarakat tetap taat dengan imbauan pemerintah. 

Termasuk menggandeng tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan di semua tingkatan dan menegakkan aturan dan protokol yang tegas. Terutama di wilayah yang potensial menyebarkan virus seperti pasar, pabrik, dan tempat keramaian lain.

Hal lain yang harus dilakukan adalah pemerintah harus mempertegas aturan kewajiban pemenuhan protokol kesehatan di tengah masyarakat. 

"Mempertegas aturan kewajiban pemakaian masker, pengaturan jarak fisik dan sosial, mencegah terjadinya potensi kumpulan massa atau keramaian melalui informasi dan edukasi. Sanksi yang tegas juga bisa diberikan apabila ditemukan pelanggaran dalam segala aktivitas masyarakat," pungkasnya.