Bagikan:

JAKARTA - Jawa Barat akan segera menuju hidup kenormalan baru di tengah pagebluk COVID-19. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan, kenormalan baru ini akan mulai dilaksanakan pada Senin, 1 Juni.

"Kita akan mulai (kehidupan normal baru) kurang lebih di hari Senin, 1 Juni. Dari Rabu sampai minggu ini kita sosialisasi," kata Ridwan seperti dikutip dari website resmi Pemprov Jabar, Kamis, 28 Mei.

Jawa Barat menjadi salah satu dari empat provinsi selain DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Gorontalo yang bersiap memasuki tatanan kenormalan baru.

Mantan Wali Kota Bandung ini mengatakan, Jawa Barat menjadi salah satu wilayah yang bisa melaksanakan tatanan kehidupan normal baru karena dianggap mampu mengendalikan penyebaran virus ini. Apalagi, angka penularan virus di wilayah yang dipimpinnya itu berkisar pada 1,09.

"Dalam standar WHO, angka itu dianggap terkendali. Makin kecil di nol itu lebih baik. Kita akan fokus menjaga ini slema 14 hari ke depan.  Kita sudah satu minggu rasionya di angka satu. Mudah-mudahan seminggu lagi tetap ada di angka satu, sehingga bisa masuk dalam kategori terkendali," ungkap dia.

Ridwan juga mengatakan, level kewaspadaan dalam pelaksanaan kenormalan baru ini bakal berbeda di tiap kabupaten dan kota karena perbedaan zona wilayah. 

Dia juga menegaskan, kenormalan baru yang akan segera dilaksanakan ini bukanlah bentuk pelonggaran terhadap protokol kesehatan melainkan sebuah langkah adaptasi menghadapi pagebluk COVID-19.

"Kenormalan baru bukan relaksasi atau kelonggaran tetapi lebih kepada adaptasi. Oleh karena itu, standar protokol kesehatan tetap berlaku meski aktivitas masyarakat di buka," tegas dia.

Dalam kenormalan baru tersebut, kata Ridwan, seluruh sektor ekonomi seperti pasar, mal, pabrik, dan sektor komersil lainnya akan dibuka. Namun, sebagai langkah awal, mereka diwajibkan untuk membuat surat pernyataan kesanggupan menjalankan protokol kesehatan saat kenormalan baru dilaksanakan termasuk siap menerima sanksi jika tak menaati protokol kesehatan yang berlaku.

Selain itu, dalam menyambut normal baru ini, nantinya Pemprov Jabar juga akan mengatur kegiatan operasional sekolah. Utamanya, dalam menjaga jarak fisik sesuai protokol kesehatan. 

Ridwan mencontohkan, jika biasanya dalam satu kelas ada 40 siswa nantinya akan diatur supaya tetap bisa menjaga jarak. "Bagaimana caranya, itu masih dikaji sambil berjalan. Jika di tempat peribadahan seperti masjid lebih mudah karena sudah bisa dijalankan dengan menjaga jarak dalam saf," ungkapnya.

Skenario tahun ajaran baru

Menyambut kenormalan baru yang akan dilaksanakan pada 1 Juni, Dinas Pendidikan Provinsi Jabar juga akan menyiapkan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran virus ini utamanya untuk pelajar SMA dan sederajat. 

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Dewi Kartika, meski masih menunggu keputusan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 soal pembukaan kembali sekolah tapi protokol ini harus tetap dibuat. Apalagi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah mengatakan tahun ajaran baru akan segera dimulai di bulan Juli.

"Pak Menteri Nadiem ancar-ancar semester awal haru mulai di bulan Juli tapi pertama kali masuk sekolahnya di tanggal berapa masih nunggu informasi Satgas COVID pusat," ungkap Dewi.

Dinas Pendidikan Provinsi Jabar sebenarnya tak begitu khawatir ketika siswa SMA terjangkit COVID-19. Sebab, menurut data Gugus Tugas Percepatan COVID-19, usia pelajar SMA, bukan termasuk mereka yang rentan terjangkit virus ini. Namun, yang menjadi kekhawatiran adalah ketika mereka malah berpotensi membawa virus bagi orang yang lebih rentan di sekitar mereka.

"Mereka boleh jadi guru sepuh, orang tua di rumah, atau teman perjalanan saat menggunakan transportasi publik. Anak-anak SMA ini kuat tapi dia bisa jadi pembawa virus. Makanya ini perlu juga menjadi perhatian," kata dia.

Sehingga, protokol kesehatan bagi siswa didik, utamanya untuk pelajar SMA dan sederajat akan ketat. Tapi, ada beberapa poin yang kemungkinan akan disesuaikan, yaitu interaksi para siswa sejak di rumah, interaksi saat perjalanan ke sekolah, dan ketika di dalam kelas bersama guru serta kawan di sekolah.

"Kita tidak tahu siswa berinteraksi di rumah dengan siapa saja, terus pergi ke sekolahnya pakai angkot ketemu siapa saja. Kita tidak tahu. Ini yang harus diantisipasi," tegas Dewi sambil menambahkan protokol kesehatan ini juga akan disesuaikan dengan warna zona wilayah.

Selain itu, protokol kesehatan ini nantinya juga berisi mengenai standar penanganan sekolah jika ada siswa atau guru yang ternyata ada yang terjangkit virus tersebut. 

Ke depan, Dewi berharap agar protokol kesehatan bagi siswa utamanya di tingkat SMA dan sederajat ini akan segera selesai agar bisa segera disosialisasikan ke berbagai wilayah kabupaten dan kota di Jawa Barat. Dia juga berharap Kemendikbud juga segera menyampaikan keputusan terkait tahun ajaran baru ini. 

"Kementerian Pendidikan sudah ada plan A, plan B, plan C tapi belum sampai ke kita (Disdik). Insyaallah Jumat ini sudah jelas,” ujarnya.

Keinginan menuju kenormalan baru

Bersiapnya beberapa wilayah, seperti Jawa Barat dalam menyambut kenormalan baru ini dimulai setelah Presiden Joko Widodo mendatangi sejumlah lokasi seperti Statsiun MRT Bundaran HI dan Summarecon Mall Bekasi untuk mengecek kesiapan penerapan protokol kesehatan. 

Dalam kunjungan tersebut, Jokowi menegaskan dirinya ingin kehidupan normal baru di tengah masyarakat bisa segera terpenuhi. Namun, untuk mencapai hal tersebut, Jokowi sadar pemerintah pusat dan daerah harus menekan reproduction rate (RO) hingga di angka 1.

"Kita ingin tetap produktif tapi aman COVID, ini yang kita inginkan. Tapi dalam menuju ke tatanan baru itu kita juga melihat angka dan fakta di lapangan," kata Jokowi dalam kunjungannya ke Mall Summarecon Bekasi seperti ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 26 Mei.

Untuk menuju kenormalan baru ini, pemerintah bahkan telah menerbitkan sejumlah protokol melalui Kementerian Kesehatan. Salah satunya adalah Surat Keputusan Menteri Kesehatan bernomor (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman, tak semua kalangan masyarakat bakal bisa menerapkan aturan itu. Utamanya, mereka yang hidup menjadi buruh keras atau mengandalkan otot seperti buruh bangunan.

Kata Sunyoto, mereka akan sangat kesulitan untuk menerapkan aturan kesehatan seperti selalu mencuci tangan dan menjaga jarak. Sebab, dalam pekerjaannya mereka kerap melakukan kegiatan yang dilarang aturan tersebut.

Kemudian, para pedagang tradisional juga dianggap Sunyoto sulit melakukan kebijakan ini. Sebab, mereka terbiasa berkomunikasi dengan pembeli secara langsung tanpa memedulikan jarak. Sehingga, menerapakan protokol kesehatan dirasa cukup sulit.

"Bagi sebagian warga yang lain tidak mudah menerimanya, terutama ketika kegiatan mereka dirasakan secara subyektif tidak terganggu COVID-19 seperti buruh bangunan, gojek, pasar tradisional dan lain sebaginya," kata Usman.

Tetapi, hal berbeda justru akan terjadi kepada pihak-pihak yang sudah memiliki kesadaran tinggi. Mereka akan mudah untuk beradaptasi. Sebab, aturan itu dianggap sangat membantu untuk memperlancar kegiatan bisnis mereka.

Sehingga agar tidak terjadi kesalahan atau tak efektifnya aturan tersebut, pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasinya. Salah satunya dengan memberikan edukasi bagi mereka yang tak mengerti soal aturan tersebut karena pemberian sanksi bukanlah solusi yang tepat. 

Sebab, berkaca dengan apa yang sudah terjadi, masyarakat seolah tak takut dengan sanksi yang diberikan. Sehingga, sangat penting untuk memberikan pengetahuan agar meningkatkan kesadaran. "Jangan keburu memberi sanksi, seringkali malah tidak efektif. Perlu memberikan pengetahuan dan kesadaran," ungkap Usman.

Sementara epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, kenormalan baru ini cukup baik di atas kertas. Tapi, pelaksanaannya justru dianggap terburu-buru. Mengingat, jeda antar fase antara Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan kenormalan baru ini terlalu dekat.

"Idealnya ada evaluasi antar fase. Karena sangat besar kemungkinan banyak kendala di lapangan dan intervensi," katanya.

Dicky juga menilai, hal ini sebenarnya tak bisa diterapkan secara nasional atau di seluruh wilayah. Mengingat, tiap provinsi dan kepulauan punya keadaan yang berbeda. Selain itu, cakupan pengujian COVID-19 ingga saat ini masih rendah. Selain itu, tracing dan efektivitas isolasinya juga masih dipertanyakan kualitasnya. "Padahal ketiganya merupakan intervensi dan senjata utama kita dalam mengendalikan COVID-19," pungkasnya.