Tidak Semua Masyarakat Bisa Terapkan Hidup Kenormalan Baru
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi), meminta jajarannya mensosialisasikan konsep kenormalan baru untuk tetap bertahan dalam situasi COVID-19. Sebab, tak bisa dipungkiri sektor ekonomi merosot akibat penyebaran virus yang semakin masif.

Dalam konsep kenormalan baru berarti perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal sehingga dapat mendongkrak sektor ekonomi. Namun, tetap dengan protokol kesehatan guna mencegah penularan COVID-19.

Aturan kenormalan baru pun sudah diterbitkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Sosiolog Univesitas Gajah Mada Sunyoto Usman mengatakan, tidak semua kalangan masyatakat bisa menerapakan aturan tersebut. Terlebih bagi mereka yang hidup dengan bekerja sebagai buruh keras atau mengandalkan otot.

Semisal para buruh bangunan, mereka akan sangat kesulitan untuk menerapkan aturan kesehatan seperti selalu mencuci tangan dan menjaga jarak. Sebab, dalam pekerjaannya mereka kerap melakukan kegiatan yang dilarang aturan tersebut.

Kemudian, para pedagang tradisional. Mereka terbiasa berkomunikasi dengan pembeli secara langsung tanpa memperdulikan jarak. Sehingga, menerapakan protokol kesehatan dirasa cukup sulit.

"Bagi sebagian warga yang lain tidak mudah menerimanya, terutama ketika kegiatan mereka dirasakan secara subyektif tidak terganggu COVID-19 seperti buruh bangunan, gojek, pasar tradisional dan lain sebaginya," kata Usman kepada VOI, Rabu, 27 Mei.

Tetapi, hal berbeda justru akan terjadi kepada pihak-pihak yang sudah memiliki kesadaran tinggi. Mereka akan mudah untuk beradaptasi. Sebab, aturan itu dianggap sangat membantu untuk memperlancar kegiatan bisnis mereka.

Sehingga agar tidak terjadi kesalahan atau tak efektifnya aturan tersebut, kata Usman, pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasinya. Salah satunya dengan memberikan edukasi bagi mereka yang tak mengerti soal aturan tersebut.

Pemberian sanksi bukanlah solusi yang tepat. Sebab, berkaca dengan apa yang sudah terjadi, masyarakat seolah tak takut dengan sanksi yang diberikan. Sehingga, sangat penting untuk memberikan pengetahuan agar meningkatkan kesadaran.

"Mungkin perlu juga edukasi dan pendamping dengan menggerakkan pemerintah dan pengusaha lokal, juga relawan. Jangan keburu memberi sanksi, seringkali malah tidak efektif. Perlu memberikam pengetahuan dan kesadaran," ungkap Usman.

Perlu pengawasan ketat

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, semua protokol kenormalan baru harus dibarengi dengan pengawasan ketat dari Dinas Kesehatan sebagai kunci kesuksesan pelaksanaannya. Dia bahkan menilai, Dinkes perlu untuk melakukan pemeriksaan acak ke sejumlah pemeriksaan demi memastikan protokol ini dilakukan semua perusahaan tanpa terkecuali. 

"Penting melakukan random check atau semacam sidak sehingga langsung dilakukan sanksi atau langkah perbaikan kepada pemilik perusahaan agar tertib. Jangan sampai ada diskriminasi, yang satu sudah tertib tapi banyak perkantoran lain yang tidak mematuhi," kata Bhima kepada wartawan, Selasa, 25 Mei.

Dia juga mengatakan, ada kemungkinan sejumlah tempat kerja tidak mampu menyediakan protokol kesehatan yang memadai. Misalnya, menyediakan hand sanitizer maupun masker.

Sehingga, di saat seperti ini sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada pengusaha UMKM untuk menjamin ketersediaan masker. Selain itu, pemerintah juga harus melaksanakan sosialisasi protokol kesehatan yang aman sejak saat ini.

"Untuk perusahaan sedang dan besar mungkin tidak ada masalah tapi untuk UMKM pasti akan ada ambahan cost atau biaya," tegas Bhima.