JAKARTA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengancam akan mengirim warganya ke penjara, lantaran menolak vaksinasi COVID-19, sering dengan peningkatan kewaspadaanterhadap kasus baru varian Delta.
"Anda dapat memilih: Anda mendapatkan vaksin atau saya akan mengirim Anda ke penjara," tegas Duterte dalam pidato yang direkam Senin malam, seperti mengutip Al Jazeera Selasa 22 Juni.
Memulai vaksinasinya pada Maret lalu, Filipina mendapati rendahnya minat masyarakat untuk mendapatkan vaksin, meski juga dilaporkan mereka berebut untuk mendapatkan vaksin Pfizer yang jumlahnya terbatas.
Begitu kesalnya, Presiden Rodrigo Duterte menyebut mereka yang menolak vaksin COVID-19 sebagai keras kepala, dan mengancam akan menyuntik mereka dengan suntikan untuk binatang.
Sebelum ancaman penjara, Presiden Duterte juga mengancam menembak warga Filipina yang melanggar pembatasan penguncia selama pandemi. Sedikitnya dua orang dilaporkan tewas di bawah kebijakan ini.
Presiden Duterte geram, lantaran dari sekitar 110 juta penduduk negara itu, baru 1,95 persen yang sudah divaksin penuh menurut Herd Immunity PH. Laporan terpisah, pemerintah menyebut hingga Senin malam sudah 8,4 juta dosis vaksin diberikan. Rinciannya, 6,2 juta orang telah menerima dosis pertama mereka, sementara 2,15 juta orang telah divaksinasi lengkap.
Untuk membujuk warganya mau divaksinasi, Filipina membuka pusat vaksinasi di gereja, mal hingga bioskop untuk mempermudah akses. Beragam insentif pun diberikan, termasuk pemberian hewan ternak. Bahkan, ia pun menyebut mereka yang menolak vaksin untuk meninggalkan negara tersebut, pergi ke India atau Amerika Serikat.
Namun pernyataan terbaru presiden itu langsung menuai kecaman dari para praktisi kesehatan Filipina. Dalam sebuah pernyataan kepada Al Jazeera, Harold Chiu, seorang spesialis endokrinologi di Rumah Sakit Umum Filipina di Manila, mengatakan, ancaman memaksa dan memenjarakan orang karena menolak vaksinasi, melanggar kebebasan pasien.
"Saya mendorong semua orang untuk divaksinasi karena vaksin berfungsi dan mencegah kita dari COVID-19 yang parah," sebutnya,
Sementara, Mia Magdalena Longid, seorang guru dan perawat terdaftar, mengatakan, dia tidak berpikir menghukum orang akan mendorong mereka untuk divaksinasi.
"Insentif vaksinasi akan diterima, terutama di negara yang penuh dengan orang-orang lapar," tukasnya.
Ada pun pemimpin kelompok hak asasi Karapatan Cristina Palabay, mengatakan ancaman Duterte tidak memiliki dasar hukum.
"Dasar hukum untuk pernyataan seperti itu sangat dipertanyakan, dan secara moral dan sosial, itu tidak dapat diterima," tegas Palabay.
"Pendekatan Duterte hanya akan menakut-nakuti orang. Ini akan memiliki implikasi luas tentang bagaimana kita mempromosikan dan meningkatkan sistem perawatan kesehatan yang benar-benar komprehensif di negara ini," paparnya.
Terpisah, dalam konferensi pers yang disiarkan televisi pada Hari Selasa, Wakil Menteri Kesehatan Myrna Cabotaje mengklarifikasi, ancaman presiden itu dilahirkan dari hasrat dan dalam konteks untuk melindungi warga Filipina.
Namun, juru bicara presiden Harry Roque secara terpisah mengatakan, ada yurisprudensi yang dapat membuat vaksinasi wajib, dan negara memiliki hak untuk membuat vaksinasi COVID-19 wajib.
BACA JUGA:
Melansir Worldometers, Selasa 22 Juni, Filipina tercatat memiliki total 1.367.894 kasus infeksi dan 23.809 kematian akibat COVID-19, dengan total pasien yang sembuh sebanyak 1.291.389 orang.