JAKARTA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan pada Hari Selasa, dirinya tidak akan pernah meminta maaf atas kematian tersangka pengguna dan pengedar narkoba, yang terbunuh dalam operasi polisi di bawah perangnya melawan narkoba yang telah mengkhawatirkan kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Diketahui, lebih dari 6.200 tersangka narkoba tewas dalam operasi melawan narkotika sejak Duterte menjabat pada Juni 2016 hingga November 2021, menurut data pemerintah.
"Saya tidak akan pernah, tidak pernah meminta maaf atas kematian itu," kata Duterte dalam pidato nasional mingguan, mengutip Reuters 5 Januari.
"Bunuh aku, penjarakan aku, aku tidak akan pernah meminta maaf," tegasnya.
Sementara itu, kelompok hak asasi dan kritikus mengatakan penegak hukum telah mengeksekusi tersangka narkoba, tetapi polisi mengatakan mereka yang terbunuh bersenjata dan dengan keras menolak penangkapan.
Presiden Duterte, dalam pidato nasional pertamanya tahun ini, bersumpah untuk melindungi penegak hukum yang melakukan tugas mereka, memberitahu mereka untuk melawan ketika hidup mereka dalam bahaya.
Hakim di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada bulan September menyetujui penyelidikan formal terhadap perang Duterte terhadap narkoba. ICC menangguhkan penyelidikan pada November menyusul permintaan Filipina, yang mengutip penyelidikannya sendiri.
Untuk diketahui, Presiden Duterte secara sepihak membatalkan keanggotaan ICC Filipina pada Maret 2018, sebulan setelah jaksa mengatakan pemeriksaan pendahuluan atas perang narkoba sedang berlangsung.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Duterte (76), memenangkan kursi kepresidenan dengan selisih lebar pada tahun 2016 dengan platform anti-korupsi, hukum dan ketertiban.
Pemimpin itu secara konstitusional dilarang mencalonkan diri kembali pada pemilihan tahun depan. Analis mengatakan, sekutu yang terpilih dapat melindungi Duterte dari tindakan hukum apa pun atas program anti-narkotikanya.