JAKARTA - Polisi Filipina mengatakan pada Hari Rabu, mereka akan menyelidiki pengungkapan yang dibuat oleh mantan Presiden Rodrigo Duterte, terkait adanya "pasukan pembunuh" untuk mengendalikan kejahatan saat ia menjadi Wali Kota Davao.
Duterte telah menunjuk mantan perwira polisi yang hadir dalam penyelidikan Senat atas "perang melawan narkoba" yang mematikan pada Hari Senin sebagai pemimpin pasukan pembunuh itu, yang keberadaannya telah dibantah oleh mantan presiden dan sekutunya selama bertahun-tahun.
Duterte kemudian mengatakan gangster, bukan polisi, yang membentuk tim pembunuh itu.
Juru bicara Kepolisian Nasional Filipina (PNP) Jean Fajardo mengatakan, nama-nama yang disebutkan dalam sidang tersebut akan digunakan sebagai petunjuk dan dasar untuk penyelidikannya.
Ia mengatakan, Kepala PNP telah menginstruksikan petugas untuk mengungkap kasus-kasus kematian yang belum terpecahkan terkait narkoba, termasuk yang mungkin terkait dengan apa yang disebut pasukan pembunuh.
"Jika kita mengungkap kasus-kasus yang menunjukkan keterlibatan polisi, Kepala PNP menegaskan tidak akan ada hal yang tabu," kata Fajardo dalam konferensi pers, dilansir dari Reuters 31 Oktober.
Kelompok hak asasi manusia mendokumentasikan sekitar 1.400 pembunuhan mencurigakan di Davao selama 22 tahun Duterte menjabat sebagai wali kota.
Para kritikus mengatakan, perang terhadap narkoba yang dilancarkannya saat ia menjadi presiden pada tahun 2016 memiliki ciri yang sama, dengan jumlah korban tewas yang jauh lebih besar.
Saat Duterte menjabat sebagai presiden, dua orang termasuk seorang mantan polisi telah bersaksi di hadapan Senat, mereka adalah bagian dari regu pembunuh yang diduga berada di Davao yang membunuh atas perintah Duterte, tetapi para legislator saat itu tidak menemukan bukti. Para pembantu Duterte menolak klaim tersebut sebagai rekayasa.
Mantan kepala polisi yang kini menjadi senator Ronaldo dela Rosa, kepala penegak hukum penindakan keras Duterte di seluruh negeri, sebelumnya mengatakan regu pembunuh itu adalah "fiksi".
Dalam sidang Hari Senin, ia meremehkan pernyataan terbaru Duterte, dengan mengatakan pernyataan itu harus dianggap sebagai lelucon.
Diketahui, perang Filipina terhadap narkoba juga menjadi subjek penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menurut data kepolisian, lebih dari 6.200 orang tewas dalam operasi antinarkoba di bawah kepemimpinan Duterte, di mana polisi biasanya mengatakan mereka membunuh tersangka untuk membela diri.
Kelompok hak asasi manusia meyakini, jumlah korban perang narkoba yang sebenarnya jauh lebih besar, dengan ribuan pengguna dan pengedar kecil lainnya terbunuh dalam keadaan misterius oleh penyerang tak dikenal.
BACA JUGA:
"Pengakuan Duterte sangat, sangat merusak. Pengakuan itu akan sangat memengaruhi keputusan ICC," kata pengacara hak asasi manusia Neri Colmenares, yang juga mewakili keluarga korban perang narkoba.
"Ia mengakui secara praktis unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan," lanjutnya.
Duterte yang berusia 79 tahun, yang terpilih dengan janji untuk memberantas kejahatan dan narkoba serta membunuh ribuan pengedar, tidak menyampaikan permintaan maaf dalam sidang yang juga dihadiri oleh keluarga korban.
"Jika Anda mengizinkan saya kembali, saya akan melakukannya lagi," katanya kepada para senator.