Perlawanan Pegawai KPK Terus Berlangsung, Berharap Tak Sampai November Mendatang
Gedung KPK (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Perlawanan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) agar diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) terus berlangsung. Terbaru, mereka melengkapi gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan puluhan barang bukti.

Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK menyerahkan 31 bukti yang terdiri 2.000 halaman berisi berbagai undang-undang, aturan, hingga email pegawai ke MK. 

Bukti tersebut diserahkan oleh Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi KPK Hotman Tambunan dan Spesialis Muda Direktorat Pembinaan dan Peran Serta Masyarakat KPK Benydictus Siumlala Martin Sumarno. 

Setelah menyerahkan bukti, Hotman Tambunan berharap Mahkamah Konstitusi bisa segera memutuskan permohonan mereka sebelum November mendatang. Tujuannya, agar putusan ini tak sia-sia karena 51 dari 75 pegawai nonaktif akan dipecat secara efektif pada 1 November mendatang.

"Kami memohon dan berharap Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan ini sebelum November 2021, mengingat pasal yang kami mohonkan adalah pasal peralihan yang hanya berlaku sekali," kata Hotman dalam keterangannya usai menyerahkan bukti di MK, Kamis, 10 Juni.

Puluhan pegawai yang diwakili oleh sembilan orang sebagai pemohon ini mengajukan uji materi atas Pasal 69 B ayat 1 dan 69 C Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengatur alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Permohonan ini telah diserahkan pada 2 Juni lalu.

Kata Hotman, gugatan ini diajukan untuk memperkuat putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara Putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang secara tegas menjamin hak pegawai KPK yang tidak boleh berubah karena adanya peralihan pegawai KPK. 

Apalagi, telah terjadi penafsiran secara inkonstitusional terhadap Pasal 69 B ayat (1) dan Pasal 69 C UU KPK dengan menjadikan hasil penilaian TWK sebagai dasar menentukan seseorang diangkat atau tidak menjadi ASN. 

Menurutnya, ini merupakan tindakan yang tak memenuhi jaminan konstitusi terhadap perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 28 (D) ayat (2) UUD 1945 serta berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Selain itu, Hotman juga menekankan bahwa TWK tidak dapat dilepaskan dari konteks upaya untuk memukul mundur amanah gerakan reformasi yang mengamanahkan lembaga anti korupsi yang tidak dapat diintervensi.

Dalam permohonannya para pemohon juga menyatakan agar MK memutus putusan sela untuk dapat menghindari kerugian yang lebih besar bagi para pemohon karena masa adanya rencana pemberhentian pegawai yang TMS paling lambat akhir Oktober mendatang.

Adapun sembilan pegawai yang jadi pemohon itu adalah Hotman Tambunan, March Falentino, Rasamala Aritonang, Novariza, Andre Dedy Nainggolan, Lakso Anindito, Faisal, Benydictus Siumlala M.S. dan Tri Artining Putri. Para pegawai ini merepresentasikan berbagai direktorat dan biro yang ada di KPK.

Ombudsman sudah klarifikasi Pimpinan KPK

Upaya memperjelas nasib mereka juga bukan hanya dilakukan melalui gugatan di MK saja. Selain ke Komnas HAM, puluhan pegawai ini telah mengadukan dugaan maladministrasi proses TWK ke Ombudsman RI yang berujung pada permintaan klarifikasi terhadap pimpinan KPK pada Kamis, 10 Juni kemarin.

Dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Ombudsman memang hingga saat ini belum menghasilkan putusan akhir terkait TWK maupun rekomendasi apapun. Namun, dalam pengusutan dugaan ini ada tiga poin yang jadi fokus lembaga tersebut.

"Pertama adalah soal dasar hukum. Terutama kalau maladministrasi itu adalah soal proses penyusunan peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Ini kita bicara dasar hukum," kata anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring, Kamis, 10 Juni.

Kedua, Ombudsman terus mendalami pelaksanaan regulasi yang ada terkait peralihan alih status kepegawaian. Termasuk, apakah sosialisasi pelaksanaan peralihan sudah dilaksanakan oleh pihak terkait seperti pimpinan KPK.

"Kemudian implementasinya. Sejauh ini, terkait keterlibatan lembaga lain dalam proses peralihannya termasuk BKN dan pihak lain," ujar Robert.

Poin terakhir adalah konsekuensi dari proses peralihan tersebut. Apalagi, saat ini ada pegawai yang sudah dinyatakan lolos dan dilantik tapi ada juga yang dinonaktifkan karena tidak lolos TWK.

Dalam pengusutan tiga poin ini, Ombudsman telah melakukan klarifikasi terhadap sejumlah pihak. Selain pimpinan KPK, hal ini sudah dilakukan kepada KemenPANRB yang merupakan regulator manajemen kepegawaian.

Meski telah mendapatkan gambaran umum karena telah memanggil sekretaris deputi di kementerian tersebut, namun Ombudsman berencana memanggil MenPANRB Tjahjo Kumolo nantinya. Tujuannya, untuk mendapatkan gambaran jelas terkait kebijakan yang terkait alih status kepegawaian.

"Kemudian kita sudah mengundang BKN. Beberapa pejabat dan asesor dari BNPT yang hadir Direktur Pencegahan BNPT. Tapi kami akan mengundang Kepala BKN karena ada penjelasan-penjelasan terkait kebijakan yang waktu itu belum kita dapatkan sepenuhnya," ungkapnya.

Dengan masih berjalannya pengusutan dugaan maladministrasi ini, maka Ombudsman belum bisa menyampaikan hasil maupun substansi lainnya. "Kami tidak boleh mendahului proses dan hasil," tegas Robert.

Dia memastikan Ombudsman akan bekerja secara independen dan menjaga integritas dalam mengusut dugaan yang dilaporkan oleh 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan tersebut. Rekomendasi yang akan dikeluarkan tentunya akan sesuai dengan data dan fakta.

"Kalau ada maladministrasi kita sampaikan. Kalau tidak ada juga akan kita sampaikan juga," katanya.

Diberitakan sebelumnya, TWK diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, 1.274 orang dinyatakan memenuhi syarat.

Sementara 75 pegawai termasuk Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid, dan Direktur PJKAKI Sujarnarko dinyatakan tak memenuhi syarat (TMS). Sedangkan dua pegawai lainnya tak hadir dalam tes wawancara.

Dalam pelaksanaannya KPK bekerja sama dengan BKN yang kemudian melibatkan pihak lain dalam pelaksanaannya termasuk dalam pembuatan soal. Mereka adalah Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI, Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Hanya saja, menurut pegawai KPK terdapat sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaan tes ini termasuk ada sejumlah pertanyaan yang dianggap melanggar ranah privat. Salah satu pertanyaannya adalah apakah pegawai KPK yang perempuan bersedia menjadi istri kedua dan ditanya lebih memilih Al'Quran atau Pancasila.