Bagikan:

JAKARTA - Ketua Fraksi PPP DPR RI Arsul Sani menilai Pasal 218 dan 219 terkait Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak perlu dihapuskan.

Anggota Komisi III DPR itu mengungkapkan, dalam tolak ukur hukum, kejahatan kenegaraan kepada pemimpin negara tetap diberikan sanksi. Bahkan di negara-negara demokrasi.

"Kita juga perlu melakukan benchmarking tentang lese majesty tentang hukum yang terkait penyerangan terhadap pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara. Bagaimana di negara lain? Dilihat dari benchmarking yang saya lakukan, saya melihat begitu banyak negara-negara yang demokrasi seperti kita bahkan tradisi demokrasinya lebih lama dari kita itu juga tetap mempertahankan lese majesty,," ujar Arsul dalam rapat kerja bersama Menkumham Yasonna Laoly di Gedung DPR, Rabu, 9 Juni.

Contoh, lanjutnya, di pasal 115 KUHP Denmark ada ancaman hukuman pidana bahkan sampai 4 tahun. Kemudian pasal 101 KUHP Islandia, ancamannya juga 4 tahun. 

"Di Belgia tidak di KUHP, tapi ada di undang-undang dari tahun 1847 yang menghina kepala negara, di sana raja, itu diancam pidana sampai 3 tahun," ungkapnya.

 

Sementara yang menggeser melakukan dekriminalisasi dari pendekatan pidana menjadi pendekatan perdata hanya Perancis di tahun 2013. Sedangkan Jerman, pada tahun 2017 melakukan dekriminalisasi hanya terhadap penghinaan kepada negara asing, tetapi terhadap kepala negaranya sendiri masih tetap mempertahankan kriminalisasi antara 3 bulan sampai 5 tahun. 

"Saya belum mendalami Belanda, belum baca kitab undang-undangnya, tapi dari bacaan yang saya tahu itu juga tetap dipidana. Artinya adalah wajar kalau di dalam KUHP kita berdasarkan benchmarking pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu dipertahankan," jelas Arsul.

Tantangan Indonesia, kata wakil ketua MPR itu, adalah bagaimana KUHP ini tidak menabrak keputusan Mahkamah Konstitusi. Maka di periode lalu dalam upaya tidak nabrak itu harus dilakukan 3 hal. Pertama, sifat deliknya dirubah dari delik biasa menjadi delik aduan.

"Kedua, pengecualian di ayat berikutnya yang bukan merupakan penyerangan itu apa sih dalam rangka kritik terhadap kebijakan umum dan pembelaan diri?," 

Ketiga, supaya menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum maka pidananya harus diturunkan di bawah 5 tahun. 

"Supaya Polri tidak bisa langsung menangkap dan membawa, itu pun kita masih dalam rangka merespon terhadap khawatiran masyarakat, seperti yang disampaikan oleh Pak Habiburrokhman. Jadi perlu ada penjelasan lagi terhadap pasal 218 dan 2019 KUHP," paparnya.

Sebelumnya, politikus Gerindra Habiburrokhman menyebut bahwa pasal penghinaan presiden dianggap memberangus pihak yang bersebrangan dengan penguasa.

"Jadi hemat saya, pasal ini tetap perlu dipertahankan tetapi harus dengan formulasi yang baik, yang hati-hati, yang menutup potensi untuk disalahgunakan seminimal mungkin," tandas Arsul Sani.