Bagikan:

JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak masuknya delik penghinaan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).

Menurut Ketua DPP PSI Tsamara Amany, pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet, dimana bisa menghambat diskursus publik yang sehat.

“Pasal penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU KUHP mencederai esensi demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat,” ujar Tsamara dalam keterangannya, Rabu, 9 Juni.

Selain itu, lanjutnya, alasan PSI menolak pasal tersebut lantaran pihaknya tak melihat relevansi pasal diterapkan pada era demokrasi. Jika Indonesia menerapkan aturan tersebut, kata Tsamara, maka hal itu menunjukkan kemunduran puluhan tahun.

“Kalau dalam konteks pasal penghinaan Presiden, Pak Jokowi dari dulu biasa difitnah, tapi beliau selalu menjawab dengan kerja,” ucapnya.

 

Berkaca dengan sikap presiden, Mahasiswa S2 New York University itu menilai, kritik-kritik seharusnya dibalas dengan kerja, bukan ancaman penjara.

"Itu pula yang seharusnya dilakukan DPR. Kalau ada yang mengkritik DPR, tunjukkan dengan perbaikan kinerja," tegasnya.

Karenanya, Tsamara mengingatkan agar DPR mengkaji ulang dan menghapus pasal-pasal tersebut dari RUU KUHP.

Diketahui, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam draft RUU KUHP terbaru. 

Adapun penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Jika penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara.

Sementara, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dikenakan sanksi kurungan penjara maksimal 2 tahun penjara.