Bagikan:

JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo tak mau berandai-andai soal kemungkinan pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto di Pemilu Presiden 2024. Dia meminta publik menunggu informasi yang tepat terkait calon yang akan diusung partai berlambang banteng itu.

"Enggak bisa berandai-andai. Tunggu tanggal mainnya saja," kata Tjahjo di Kompleks DPR, Selasa, 8 Juni. 

Dia menerangkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Sehingga, siapapun yang akan maju di Pilpres 2024 harus mendapatkan dukungan partai politik.

"Pengajuan paslon itu kan sesuai UU adalah hak dan kewenangan parpol atau gabungan parpol. Lihat UU masih begitu, sekarang orang mau malang-melintang, mau jadi popoler, kuncinya nanti didukung parpol atau gabungan parpol atau tidak. Karena ini adalah domain parpol untuk tentukan siapa capres. Kalau kepala daerah kan ada yang independen," kata kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) ini.

PDIP, lanjut Tjahjo, juga belum menentukan sikap tentang siapa yang akan diusung di Pilpres 2024. Tapi, berdasarkan pengalamannya, PDIP tak bisa menentukan calonnya sendiri karena mesti berkoalisi dengan partai lain.

"Persyaratannya bisa satu partai atau gabungan parpol. Jaman saya ketua timses Pak Jokowi (2014), perlu gabungan partai yaitu NasDem, perlu Hanura, kemarin (2019) ditambah banyak sekali. Kalau partai pede, mencukupi persyaratan, sah-sah saja. Kalau enggak cukup, bisa gabungan parpol," kata dia.

Pasangan Mega-Prabowo pernah terwujud di Pemilu 2009. Mereka melawan pasangan SBY-Boediono dengan nomor urut 2 dan JK-Wiranto dengan nomor urut 3.

Pasangan Mega-Prabowo diusung oleh PDIP dan Partai Gerindra, serta didukung oleh Partai Kedaulatan, Partai Karya Perjuangan, PNI Marhaenisme, Partai Buruh, Partai Sarikat Indonesia, dan Partai Merdeka.

Pasangan nomor urut 1 ini kalah dari Pasangan SBY-Boediono. Mega-Prabowo mendapatkan 26,79 persen suara; SBY-Boediono mendapatkan 60,80 persen suara; dan JK-Wiranto mendapatkan 12,41 persen suara.