JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Habiburrokhman mengusulkan pasal penghinaan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) dialihkan ke Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
"Pasal 218 RUU KUHP, saya rasa sebaiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya kearah perdata sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif," ujar Habiburrokhman di Gedung DPR, Rabu, 9 Juni.
Selama ini, lanjut politikus Gerindra itu, masih dalam ranah pidana tuduhan, bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabiskan orang yang berseberangan dengan kekuatan.
"Ini akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya, karena kepolisian dan kejaksaan itu termasuk dalam rumpun eksekutif," jelas Habiburrokhman.
BACA JUGA:
Karena itu, ia masih mempertanyakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bagaimana tindak lanjut ke depan terkait persoalan ini. Terlebih, sudah mengklaim mencari masukan publik dengan mengunjungi 11 kota di Indonesia.
"Jadi ini apakah ada masukan soal teknis carry over? Seperti apa kalau carry-over nya? Kalau lalu menindaklanjuti tingkat kedua ya percuma juga keliling Indonesia. Ada 11 kota untuk menerima masukan," kata Habiburrokhman.
Sebelumnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak masuknya delik penghinaan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).
Menurut Ketua DPP PSI Tsamara Amany, pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet, dimana bisa menghambat diskursus publik yang sehat.
“Pasal penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU KUHP mencederai esensi demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat,” ujar Tsamara dalam keterangannya, Rabu, 9 Juni.