Bagikan:

JAKARTA - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai calon presiden potensial Tanah Air di Pilpres 2024 sangat melimpah jika berkaca pada dinamika politik belakangan ini. Artinya, bukan hanya dua pasangan calon saja yang bakal muncul dalam perhelatan pesta demokrasi lima tahunan.

"Kita tidak kekurangan tokoh yang layak dan punya kapasitas untuk menduduki kursi RI 1," ujar Pangi dalam keterangannya kepada VOI, Minggu, 30 Mei.

Namun secara realistis, lanjutnya, sistem politik Tanah Air membuat hambatan dan penghalang sehingga tokoh-tokoh potensial akan layu sebelum berkembang dengan pemberlakuan ambang batas presidential threshold (PT) 20 persen.

Pemberlakuan ambang batas presiden ini, kata Pangi, akan membunuh talenta-talenta potensial dan menyisakan ruang permainan yang hanya berputar-putar pada tingkat partai papan atas sebagai otoritas pemegang kendali pemberian 'tiket' pencapresan kepada sosok yang diinginkan melalui lobi-lobi politik belakang layar. 

"Publik hanya menjadi penonton dan dipaksa memilih pada pilihan yang terbatas. Kata kuncinya pada otoritas tiket partai, elektabilitas racikan elektoral yang tinggi seakan-akan tidak berguna," jelas Pangi.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu memaparkan, apabila merujuk pada pemilu sebelumnya, sudah dapat dipastikan 'otoritas tiket' hanya akan dimonopoli partai-partai papan atas. Sehingga, nama-nama yang berseliweran di lembaga survei hari ini hanya akan menjadi hiasan di pemberitaan media dan akan hilang bahkan sebelum "Pestanya" dimulai. 

"Rujukan iya, tapi belum tentu menjadi penentu seperti komentar Ketua Bappilu PDIP, Bambang Wuryanto, elektabilitas bukan menjadi patokan dalam penentuan capres," paparnya.

"Saya ingin katakan begini, elektabilitas itu bukan kunci untuk mendapatkan tiket pencapresan. Silahkan Anies Baswedan tinggi elektabilitasnya, silahkan Ganjar Pranowo tinggi elektabilitasnya, silahkan Ridwan Kamil tinggi elektabilitasnya tapi tetap nama-nama yang bakal keluar dari saku kantong, mutlak pada partai yang menentukan," sambung Pangi.

Menurut pria yang akrab disapa Ipang ini, adanya presidential threshold 20 persen, terkadang elektabilitas dan popularitas tak punya korelasi linear terhadap proses pencapresan. Kalau pun ada tetapi tidak menjadi faktor mutlak hanya bisa jadi bonus. 

"Saya pikir nanti akan ada juga capres kaget, publik terkaget bahkan bukan tidak mungkin nama-nama capres di luar klaster kepala daerah, menteri dan ketua umum parpol," sebutnya.

Karena itu, Pangi berpandangan, bahwa simulasi capres hanya akan berputar-putar pada partai yang itu-itu saja di mana bisa memenuhi PT 20 persen. Sebab, sistem pemilu Indonesia sedikit membatasi ruang gerak capres potensial. 

"Misal PDIP, Gerindra dan Golkar, sisanya gabungan partai papan tengah. Itupun kalau tidak ada koalisi 'gemuk' yang menggembosi partai papan tengah," katanya.

"Kalau koalisi gemuk terjadi, kita sudah bisa tebak capres 2024 itu siapa saja, PDIP maunya siapa? Gerindra mau usung siapa? Golkar mau ikut dukung atau mau bikin poros alternatif sendiri? Sisanya nanti hanya akan mengikuti arus," kata Pangi menambahkan.

Jika Indonesia menginginkan sesuatu yang baru dan pemilu 2024 lebih dinamis dan atraktif, menurut Pangi, tidak ada jalan lain selain presidensial threshold harus dihapuskan.

Pangi pun memprediksi bakal ada tiga poros yang cukup potensial pada pilpres 2024 nanti. Pertama, koalisi PDIP-Gerindra-PKB dengan simulasi mengusung pasangan capres Prabowo-Puan. 

Poros kedua, koalisi partai Nasdem-PKS-Demokrat dengan simulasi pasangan capres Anies-AHY. Kemudian poros ketiga, koalisi alternatif partai Golkar-PPP-PAN dengan simulasi pasangan yang memungkinkan nama-nama seperti Airlangga, ataupun Erick Tohir. 

"Terlepas dari partai mana yang nanti meminangnya menjadi capres termasuk nama Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno dan Ridwan Kamil," tuturnya.

Sementara untuk spesies koalisi, ada dua pendekatan. Pertama pendekatan match all party, yakni koalisi berbasiskan personalistik, pragmatis dan populisme. Kedua, pendekatan catch all party, yakni koalisi platform berbasiskan ideologi. 

"Saya perhatikan koalisi kita selama ini lebih kuat DNA berbasiskan kekuasaan pragmatis ketimbang ideologis, selain memang makin cair sekat ideologis lintas parpol. Artinya, koalisi bukan berbasiskan ideologi, lebih menonjol basis pragmatisme politik," ungkapnya.

Namun yang pasti, Pangi mengingatkan agar Pilpres 2024 harus tetap mendorong lebih dari dua pasang calon presiden. Dari data hasil survei Voxpol Center, kata dia, menunjukkan sebesar 40,6 persen menginginkan pilpres 2024 diikuti lebih dari 2 pasang capres/cawapres.

"Sebanyak mungkin capres alternatif, meskipun terbentur presidential threshold 20 persen. Jangan sampai terulang rematch pilpres bipolar, akibatnya keterbelahan publik makin menganga lukanya, karena nggak ada capres alternatif sebagai pemecah gelombang dua kutub tersebut," demikian Pangi Syarwi Chaniago.