JAKARTA - Di tengah pandemi virus corona atau COVID-19, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) akan memeringati hari buruh Internasional atau May Day dengan melakukan aksi. Ada tiga tuntutan yang akan disuarakan oleh serikat buruh.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, aksi tersebut akan dipusatkan di Gedung DPR RI dan Kantor Menko Perekonomian RI. Adapun tuntutan yang akan disuarakan dalam aksi nanti adalah, pertama, tolak omnibus law. Kedua, stop PHK, dan ketiga, liburkan buruh dengan tetap mendapatkan upah dan Tunjangan Hari Raya (THR) penuh.
Seperti diketahui, hari buruh Internasional jatuh pada 1 Mei. Aksi ini tidak hanya berlangsung di Jakarta. Kata Said Iqbal, pada hari yang sama aksi juga akan dilakukan di Serang Banten, Bandung Jawa Barat, Semarang Jawa Tengah, Surabaya Jawa Timur, Jogjakarta, Banda Aceh Aceh, Batam Kepulauan Riau, Medan Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, Palembang Sumatera Selatan, Lampung, Manado Sulawesi Utara, Makassar Sulawesi Selatan, Gorontalo, Manado Sulawesi Utara, Banjarmasin Kalimantan Selatan, Samarinda Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.
Said Iqbal mengatakan, surat pemberitahuan aksi kepada Mabes polri dan Polda Metro Jaya sudah disampaikan pada hari Jumat tanggal 17 April. Tetapi petugas piket menolak menerima surat tersebut. Sehingga surat pemberitahuan aksi KSPI dan MPBI sesuai UU No 9 Tahun 98 telah dikirimkan melalui jasa pengiriman titipan kilat ke Kantor Mabes Polri (Kabagintelkam) dan Polda Metro Jaya (Dirintelkam) pada hari Sabtu tanggal 18 April 2020.
KSP dan MPBI berharap aksi ini diizinkan oleh kepolisian RI, karena faktanya jutaan buruh sampai saat ini masih tetap bekerja di pabrik-pabrik.
"Dengan argumentasi yang sama, seharusnya pihak Polda di seluruh wilayah Indonesia dan Mabes Polri mengizinkan buruh untuk aksi dalam peringatan May Day yang dipercepat peringatannya pada tanggal 30 April di depan DPR RI, Kantor Perekonomian RI dan Kantor Gubernur di seluruh Indonesia," katanya, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, di Jakarta, Senin, 20 April.
Aksi Akan Batal Jika RUU Ciptaker Dihentikan
Said Iqbal menyatakan, KSPI dan MPBI akan mengurungkan aksi turun ke jalan pada peringatan May Day tahun ini dengan syarat jika salah satu tuntutan dipenuhi pemerintah.
"Aksi buruh 30 April akan kami hentikan bila DPR RI dan Menko Perekonomian menghentikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja selama pandemi corona. Tetapi kalau tidak, maka buruh tetap aksi," tegasnya.
Said Iqbal berjanji, buruh akan mengikuti protokol pandemi virus corona atau COVID-19 saat turun aksi pada 1 Mei nanti. Protokol tersebut yaitu, jaga jarak, memakai masker, dan penggunaan hand sanitizer.
"KSPI dan MPBI akan berkoordinasi dengan pihak Mabes Polri dan Metro Jaya untuk mencari solusi berkenan rencana aksi buruh ini. Kami yakin akan mendapatkan titik temu," tuturnya.
BACA JUGA:
Namun, kata Said Iqbal, jika dipersoalkan aksi buruh di tengah pandemi COVID-19 akan membahayakan nyawa buruh, maka jawabannya sederhana yaitu, liburkan sekarang juga jutaan buruh yang masih bekerja di pabrik.
"Pemerintah dan aparat hukum harus adil dalam memandang masalah ini. Jangan gunakan standar ganda," tuturnya.
Jalan Tengah
Ahli Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah mengatakan, aksi buruh di tengah pandemi ini justru akan membuat masalah baru yakni berpotensi menularkan virus COVID-19. Sehingga, pemerintah sebaiknya mengabulkan tuntutan buruh untuk menunda pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Sebaiknya dihentikan dulu selama pandemi. Karena jika diteruskan justru akan memunculkan konflik. Jadi lebih baik ditunda dulu pembahasannya. Memaksakan rapat tanpa melibatkan partisipasi publik juga tidak baik," tuturnya, saat dihubungi VOI.
Sementara itu, lanjut Trubus, untuk tuntutan buruh untuk menghentikan pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah tekanan COVID-19 terhadap perekonomian yang cukup dalam, sangat sulit untuk dilakukan oleh para pengusaha. Sebab, pandemi ini membuat pengusaha tak memiliki pendapatan, maka akan sulit untuk mempertahankan karyawan.
Meski begitu, kata Trubus, pemerintah pusat dapat mengambil langkah kebijakan publik untuk mengatasi PHK massal yang membuat jumlah pengangguran semakin tinggi.
"Pemerintah harus membuat aturan atau regulasi yang sifatnya mempermudah perusahaan dalam memperoleh pinjaman, pajak bangunan, listrik dibebaskan dan PAM. Pasokan bahan baku seperti di China disediakan pemerintah, dan ditanggung 50 persen," tuturnya.
"Pemerintah tidak hanya mengeluarkan insentif tetapi juga harus mengeluarkan kebijakan disinsentif. Pembebasan, tidak dibayar dulu. Karena kan ini kondisinya darurat, sesuai Keppres 12 ini kan situasinya bencana nasional," sambungnya.
Menurut Trubus, tidak ada solusi yang paling baik saat ini selain membebaskan beban-beban pengusaha. Sebab, bantuan tersebut akan membuat perusahaan hidup dan mampu bertahan. Ia menilai, dengan meringankan pengusaha maka karyawan akan terselamatkan dari PHK.
"Supaya perusahaan jalan dan karyawan tidak di PHK. Semuanya memang harus melalui kebijakan pemerintah, kebijakan publik," jelasnya.
Namun, dalam kondisi seperti ini, kata Trubus, pemerintah dapat berdalih tidak memiliki anggaran untuk melakukan hal tersebut. Apalagi, defisit APBN 2020 juga melebar.
"Pemerintah bisa berdalih tidak ada anggaran. Pemerintah kan bisa mengusahakan dengan cara-cara lebih leluasa lah misalnya pinjam atau apa pun. Artinya pemerintah punya banyak cara untuk mendapatkan uang. Perusahaan harus dilindung dan buruh juga. Jadi pemerintah dapat bayar 50 persen, dan 50 persen ditanggung perusahaan," jelasnya.
Trubus mengaku, khawatir jika PHK massal terus terjadi selama pandemi COVID-19 ini. Apalagi, jika bantuan yang diberikan pemerintah tidak tepat sasaran di tengah kondisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Saya khawatir kalau ini (PHK) terus terjadi, nanti munculnya kerawanan sosial. Jika tanggal 30 April buruh tetap turun ini akan terjadi konflik sosial. Jadi pemerintah harus cari solusi agar jangan sampai terjadi konflik sosial," tuturnya.
Namun, Trubus mengaku, tidak sepakat dengan tuntutan serikat buruh yang meminta tetap digaji penuh namun diliburkan. Sebab, dalam kondisi pandemi ini, perusahaan sudah sangat terdampak, dan menyebakan tidak adanya pendapatan.
"Itu tuntutan yang irasional. Diliburkan tetapi minta gaji dibayar penuh. Bagaimana bisa? Pengusaha sudah sangat tertekan, tidak ada pendapatan," jelasnya.
Menurut Trubus, untuk THR memang harus dipenuhi oleh perusahaan. Sebab, tidak seperti gaji yanh dibayarkan setiap bulan, THR ini hanya diberikan satu tahun sekali. Apalagi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan aturan mengenai THR jelas, maka tidak ada alasan perusahaan untuk tidak membayarkan.
"Kalau THR saya masih setuju. Karena ini kan dibayarkannya satu tahun sekali," terangnya.