Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan tak lolos dalam asesmen pengalihan status sebagai aparatur sipil negara (ASN) sehingga terancam tersingkir.  Hal ini menimbulkan spekulasi beragam, termasuk asesmen tes wawasan kebangsaan dianggap sebagai cara untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas.

Kabar mengenai tak lolosnya sejumlah pegawai KPK dalam asesmen ini ramai sejak Senin, 3 Mei kemarin. Adapun mereka yang dikabarkan tak lolos, salah satunya adalah penyidik senior KPK Novel Baswedan dan sejumlah kepala satuan tugas (kasatgas) pengusutan kasus korupsi lainnya.

Salah satu yang menduga asesmen ini sudah dirancang untuk menyingkirkan para pegawai ini adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan asesmen ini sudah diranjang sejak awal dan menjadi episode terakhir menghabisi KPK.

"Tidak lulusnya sejumlah pegawai dalam tes wawasan kebangsaan telah dirancang sejak awal sebagai episode akhir untuk menghabisi dan membunuh KPK," katanya dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI, Selasa, 4 Mei.

Penilaiannya ini didasari dengan sejumlah kejadian nyata dan runut. "Mulai dari merusak lembaga antirasuah dengan UU KPK baru, ditambah dengan kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri, dan kali ini pegawai-pegawai yang dikenal berintegritas disingkirkan," tegas Kurnia.

Lebih lanjut, dirinya menyebut kondisi carut marut ini tak bisa begitu saja dilepaskan dari peran residen Joko Widodo dan seluruh anggota DPR RI. Sebab, dua cabang kekuasaan inilah yang akhirnya sepakat merevisi UU KPK dan memasukan aturan kontroversi berupa alih status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Tak lupa, ini pun sebagai buah atas kebijakan buruk Komisioner KPK tatkala mengesahkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 yang memasukkan asesmen tes wawasan kebangsaan," ungkapnya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari juga sepakat jika ada yang salah dengan asesmen tersebut. Dia memaparkan sejumlah permasalahan dari tes alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

"Tes berisi hal yang janggal dan mengada-ada. Misalnya pertanyaan terkait FPI dan pendapat pegawai terhadap program pemerintah," kata Feri.

Pertanyaan ini, sambungnya, tidaklah etis. Sebab, para pegawai KPK dilarang berurusan dengan perdebatan juga dilarang menunjukkan dukungan terhadap program pemerintah.

"Karena bisa saja program itu terkait kasus korupsi," tegasnya.

Sehingga, dia menilai tes tersebut tidak sesuai dengan UU KPK baru. Selain itu, asesmen ini lebih banyak dari kehendak pimpinan KPK lewat peraturan komisi sehingga secara administrasi bermasalah.

Tak hanya itu, Feri juga menilai asesmen dengan soal yang janggal tersebut adalah bentuk kesewenangan penyelenggara negara. Alasannya, pengujian ini terkesan tak terbuka seperti tes calon pegawai negeri sipil (CPNS).

"Selain dilakukan tidak terbuka sebagaimana tes PNS lainnya, juga dilakukan berulang-ulang kepada pegawai karena itu tes kesekian kalinya. Mana ada orang di tes berkali-kali seperti pegawai KPK. Apalagi tertutup. KPK kalah dengan lembaga lain yang hasil tesnya dibuka setelah tes berlangsung," ungkapnya.

Feri meyakini tes ini adalah cara untuk mencoret para pegawai yang berintegritas. Termasuk para kepala satuan tugas (kasatgas) yang sedang menangani kasus korupsi kelas kakap.

"Tes ini merupakan cara untuk membenarkan pencoretan figur-figur yang sedang menangani perkara megakorupsi, kasatgas kasus-kasus melibatkan para politisi dan orang yang menjabat di posisi internal yang penting bagi integritas KPK di masa depan," katanya.

Dipertanyakan dan dikritisi eks Pimpinan KPK

Suara kritis juga datang dari eks pimpinan komisi antirasuah. Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang angkat bicara dengan menanyakan dugaan tak lolosnya sejumlah pegawai sebagai ASN, termasuk Novel Baswedan.

Menurutnya, tak lolosnya para pegawai karena terganjal asesmen tes wawasan kebangsaan ini cukup aneh. Apalagi, nama-nama yang disebut tak lolos adalah orang lama di komisi antirasuah tersebut.

"Mengapa seseorang tidak lulus di lembaga yang dia sudah bekerja tahunan yang KPI-nya sudah terbukti?" tanya Saut.

Dia mengatakan para pegawai di KPK yang selama ini berstatus independen sudah tak perlu diragukan lagi integritasnya. Karenanya, dia menyayangkan jika dugaan ini benar terjadi.

"Orang-orang yang berintegritas adalah orang yang pasti tak diragukan creating value-nya di KPK dan negeri ini," tegasnya.

Selain itu, Saut mengingatkan proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) seperti aturan UU 19 Tahun 2019 jangan justru langkah untuk menyaring orang yang sudah memiliki performa baik di KPK. Sebab, pegawai seperti ini dibutuhkan KPK.

"Jangan cari justifikasi lain untuk melakukan saringan terhadap orang-orang yang memang sudah perform dan tough guy dalam penegakan hukum antikorupsi, justru orang-orang tough guy yang diperlukan dalam membuat negeri cepat pulih dari sakit kronis," ungkap Saut.

Saut juga meminta penjelasan dari KPK terkait tak lulusnya sejumlah orang yang kemudian berujung pada pemecatan. Apalagi, tujuan tes seleksi menjadi ASN harusnya untuk membangun kinerja upaya pemberantasan korupsi lebih baik lagi dan bukan sebaliknya.

"Jadi tujuan seleksi adalah memilih aparat penegak hukum yang mampu membangun nilai-nilai kinerja, karena dedikasi, kompetensi dan integritas," katanya.

Sementara eks pimpinan lainnya, Bambang Widjojanto menyebut dengan beredarnya kabar ini gelagat penghabisan sumber daya manusia di komisi antirasuah makin tercium.

"Yang mengerikan, kini, batas api kepantasan telah dilanggar. Jika info di media benar, ada indikasi SDM KPK mulai dihabisi," ungkapnya dalam keterangan tertulis.

Bambang mengatakan, pegawai KPK selama ini bekerja sepenuh hati bahkan sampai bertaruh nyawa demi memberantas korupsi. Tapi, situasinya berbeda kini dengan adanya usaha menyingkirkan mereka.

"Justru malah mau disingkirkan semena-mena hanya dengan berbekal hasil tes ala Litsus orde baru," tegas Bambang.

Dia menuding, apa yang terjadi saat ini adalah bagian dari strategi penghancuran KPK. Sebab, kasus yang tengah ditangani dari mulai dugaan korupsi bansos COVID-19 di Kementerian Sosial, suap izin ekspor benih lobster, hingga suap penghentian perkara di Tanjungbalai melibatkan orang yang ada di dalam pemerintahan.

Upaya penghancuran ini juga sebenarnya sudah dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Mulai dari revisi UU KPK hingga pimpinan yang terpilih semuanya penuh kontroversi.

Berkaitan dengan hal ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK Cahya H. Harefa menyebut belum ada pihak yang tahu perihal hasil asesmen. Sebab, hasil asesmen dari 1.349 pegawainya itu masih tersegel dan disimpan dengan aman di Gedung Merah Putih KPK.

Rencananya, pengumuman terhadap hasil asesmen ini akan disampaikan dalam waktu dekat. "Sebagai bentuk transparansi kepada seluruh pemangku kepentingan KPK," kata Cahya.

Ribuan pegawai ini mengikuti asesmen yang merupakan syarat pengalihan status pegawai seperti diatur dalam Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.

Selain itu, sebagai lembaga KPK memang harus melakukan alih status pegawai karena sesuai amanat undang-undang KPK yang telah direvisi.

"Secara kelembagaan KPK tunduk kepada peraturan bahwa pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN merupakan amanat UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," pungkasnya.