Debat Soal HAM di Tengah Ancaman KKB Papua
Dokumentasi rumah-rumah warga yang dibakar kelompok bersenjata, di Beoga, Kabupaten Puncak, (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Kekerasan yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua belum juga berhenti. Tak cuma kepada aparat, kekerasan juga dilakukan pada warga sipil. 

Teranyar, Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya meninggal dunia ditembak oleh KKB di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua pada Minggu, 25 April. 

Kemudian, tiga anggota Brimob menjadi korban saat baku tembak antara tim gabungan TNI-Polri dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Ilaga, Puncak, Papua. Dua di antaranya berhasil selamat karena hanya tertembak di bagian perut dan punggung.

Di tengah masalah ini, muncul perdebatan soal hak asasi manusia. Mulanya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta aparat TNI, Polri, dan BIN bertindak tanpa memberikan toleransi terhadap KKB yang melakukan tindakan kriminal hingga menimbulkan korban jiwa.

"Saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian," ujar Bamsoet pada Senin, 26 April.

Kalau perlu, kata Bamsoet, pemerintah mesti menurunkan kekuatan 4 matra terbaik yang dimiliki selain Brimob Polri, yakni Gultor Kopassus, Raiders, Bravo dan Denjaka. Lalu, aparat diberi waktu satu bulan untuk menumpas KKB.

"Aparat TNI, Polri serta intelijen harus terus melakukan pengejaran dan menindak tegas terhadap KKB tersebut tanpa ragu dengan kekuatan penuh yang kita miliki. Kita tidak boleh membiarkan kelompok separatis terus melakukan tindakan yang mengakibatkan korban jiwa," ungkapnya.

Lalu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan pernyataan Bamsoet yang meminta pemerintah menumpas habis KKB.

Usman mengingatkan, pernyataan Bamsoet soal keinginan untuk membinasakan KKB mengesampingkan asas hak asasi manusia. Usman menganggap, pernyataan itu berpotensi mendorong eskalasi kekerasan di Papua dan Papua Barat. 

"Kami sangat menyayangkan pernyataan Ketua MPR RI yang mengesampingkan hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan kewajiban konstitusi sehingga harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan negara. Mengesampingkan hak asasi manusia itu bukan hanya melawan hukum internasional, tetapi juga inkonstitusional," kata Usman, Selasa, 27 April.

Pernyataan ini kembali didebatkan Bamsoet. Menurut Bamsoet, jangan sampai ada ruang toleransi bagi tumbuh suburnya gerakan separatis dan teroris di Indonesia, yang bahkan telah dilabeli oleh BIN.

"Memangnya para separatis dan teroris itu pakai teori hak asasi manusia saat membunuh rakyat dan aparat yang bertugas? Sikat habis. Tumpas dan ratakan para separatis dan teroris yang tidak berprikemanusiaan itu," tegas Bamsoet.

Dari aspek pertahanan, keamanan nasional dan hukum, lanjut Bamsoet, sangat jelas KKB di Papua bukanlah kelompok kriminal bersenjata biasa. KKB menurutnya termasuk gerakan yang punya tujuan memisahkan diri dari NKRI.

"Mereka jelas tidak punya right to self determination (hak menentukan nasib sendiri, red). Karena, ketika Papua telah menjadi bagian integral NKRI berdasarkan New York Agreement 1962, maka hak menentukan nasib sendiri serta merta batal demi hukum," jelas mantan ketua Komisi III DPR itu.