JAKARTA - Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 menyisakan luka mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, kapal selam yang membawa serta 53 awak prajurit statusnya dinyatakan on eternal patrol atau berpatroli selamanya. Tentu, hal ini semakin menyayat hati warga Tanah Air.
Dengan tenggelamnya kapal selam buatan Jerman tahun 1981 itu, kini alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI tersisa 4 unit.
Atas tragedi tersebut, kecintaan pada Tanah Air muncul dengan usulan patungan membeli kapal selam pengganti KRI Nanggala-402.
Pemuka agama Ustad Abdul Somad mengajak masyarakat untuk urunan sebagai dukungan terhadap TNI. Ajakan patungan ini digagas oleh aktivis Masjid Jogokaryan Yogyakarta.
Lantas, dapatkah patungan ini membeli kapal selam pengganti KRI Nanggala-402 yang terbelah tiga di dasar lautan?
Mengingat harganya yang ditaksir mencapai 400 US Dolar atau setara Rp5,8 triliun per unit, anggota Komisi I DPR Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf menilai, gerakan patungan membeli kapal selam pengganti KRI Nanggala-402 belum cukup untuk mendapatkan salah satu alat sistem persenjataan (alutsista) TNI tersebut.
"Gerakan patungan beli kapal selam ini belum tentu cukup, karena harga kapal selam yang ada saat ini sangatlah mahal," ujar Muzammil, Selasa, 27 April.
Namun, menurut politikus PKS itu, usulan patungan ini tentu menjadi bahan evaluasi dan pengingat bagi pemerintah. "Paling tidak gerakan ini dimaknai sebagai bagian dari koreksi publik kepada pemerintah," katanya.
Hal ini seiring dengan kurangnya alokasi anggaran di Kementerian Pertahanan yang hanya Rp138 triliun, di mana seharusnya Rp300 triliun agar bisa memaksimalkan pemeliharaan alutsista.
"Peremajaan alutsista adalah kunci namun anggaran untuk pengadaannya juga tidak sedikit," sambung Muzammil.
Lebih lanjut, Muzammil menilai, ajakan Ustaz Abdul Somad (UAS) untuk patungan membeli kapal selam dimaknai sebagai wujud kepedulian rakyat terhadap pertahanan negara. Selain itu, kata Muzammil, merupakan bagian dari nilai konstitusionalitas sebagai warga negara yang diatur didalam Pasal 30 UUD 1945 terkait dengan hak dan kewajiban warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Di mana Pasal 30 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
"Pasal 30 ayat (2) UUD NRI1945 menyebutkan usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung," tambahnya.
BACA JUGA:
TNI Tak Boleh Terima Sumbangan
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengapresiasi niat masyarakat untuk patungan membeli kapal selam pengganti KRI Nanggala-402. Menurutnya, ajakan tersebut adalah bentuk kesadaran rakyat Indonesia untuk memperkuat pertahanan negara.
"Patut dihargai ada kesadaran masyarakat kita, bahwa betapa pentingnya angkatan bersenjata kita," ujar Connie dihubungi VOI, Selasa, 27 April.
Akan tetapi, lanjutnya, patungan itu tidak serta merta dapat merealisasikan pembelian alat sistem utama persenjataan (alutsista) TNI.
"Karena patut diketahui UU melarang TNI menerima bantuan apapun selain dari anggaran pendapatan biaya negara (APBN). Jadi tidak boleh terima (sumbangan, red). Bisa bahaya," jelas Connie.
Menurutnya, akan berbahaya jika TNI menerima bantuan selain dari negara. Sebab khawatir ada klaim tertentu terkait dengan bantuan.
"Setahu saya tidak ada dunia ini boleh menerima bantuan privat kepada tentaranya. Tapi niatnya (patungan, red) sangat bagus, harus diapresiasi tetapi tidak didukung mekanisme," kata Connie.
Apabila ingin membantu TNI, kata Connie, cukup dengan mendukung jika ada penambahan anggaran di Kementerian Pertahanan. Pasalnya, anggaran untuk pemeliharaan, peremajaan dan perawatan alutsista hanya sebesar 30 persen dari anggaran Kemenhan. Selebihnya, untuk belanja rutin.
"Jadi biaya non rutin harus diperkuat, bukan menyumbang, negara enggak bisa terima itu. Karena TNI harus dari APBN," katanya.
"UAS bisa mengimbau kesadaran masyarakat untuk bantu pemerintah memodernisasi persenjataan. Mengimbau umat harus memahami jika anggaran dinaikkan itu untuk menjaga kedaulatan juga," sambung Connie.
Selain itu, harus ada revolusi total dalam angkatan bersenjata sebagai poros maritim dunia, terutama perubahan alutsista. Pemerintah juga harus memperkuat hubungan diplomatik antar negara.
"Kita bisa enggak jadi negara kuat? Bisa! Tapi diperlukan bukan saja kekuatan anggaran tetapi kekuatan diplomatik berbasiskan pengetahuan geopolitik," tandas Connie.
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengapresiasi masyarakat yang menggalang dana untuk membeli kapal selam. Namun secara Undang-undang, alutsista dibeli melalui APBN.
"Kita apresiasi terhadap kecintaannya untuk menjaga kedaulatan Indonesia dan mengangkat muruah TNI, cuma masalah pengadaan alutsista itu adalah kebijakan pemerintah, jadi sumbangsih ini bisa diserahkan ke pemerintah untuk pemerintah menjalankan fungsinya," kata Dave dihubungi VOI, Jakarta, Selasa, 27 April.
Tapi secara sejarah, kata Dave, Indonesia pernah membeli pesawat pertama berasal dari sumbangan masyarakat Aceh.
"Dalam sejarah, bukan hal yang aneh. Pernah kan dulu waktu kita beli pesawat pertama, masyarakat Aceh mengumpulkan emasnya untuk disumbangkan ke negara untuk beli pesawat kita pertama," kata Dave.
"Tapi, sekarang kan situasinya berbeda. Kondisi itu saat awal pertama republik berdiri, kita belum memiliki sumber daya, pemerintahan baru berjalan dan belum ada APBN yang nilainya ribuan triliunan setiap tahunnya. Situasinya berbedalah tentunya," sambung dia.
Kendari demikian, Komisi I DPR yang membidangi pertahanan sepakat bahwa ke depan pemerintah bersama DPR yang bertugas menetapkan APBN harus dapat merumuskan hal yang paling urgen terlebih dahulu. Salah satunya soal penguatan TNI dan pengadaan alutsista.
"Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikelilingi lautan luas dengan garis pantai yang panjang, seyogyanya harus memiliki armada laut yang kuat dan disegani," kata Muzammil.