Terungkap, Memo Internal Militer Myanmar Perintahkan Pasukannya Habisi Pengunjuk Rasa
Tentara rezim militer Myanmar membawa senapan penembak runduk (sniper) di lokasi unjuk rasa anti-kudeta. (Twitter/@ThuZarM95645629)

Bagikan:

JAKARTA - ASEAN Leaders Meeting (ALM) yang digelar di Jakarta, Sabtu 24 April menyepakati, seruan untuk menghentikan kekerasan di Myanmar, serta membebaskan para tahanan politik.

Data Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) hingga 23 April, jumlah korban tewas mencapai 745 orang, 3.371 orang ditahan dan 1.118 orang sudah dibebaskan.

Jumlah korban jiwa dan mereka yang ditahan memiliki potensi terus bertambah, seiring dengan beredarnya memo internal yang dikeluarkan oleh rezim militer Myanmar. 

"Anda harus memusnahkan mereka saat menghadapi mereka, karena 'perusuh (eufemisme militer untuk pengunjuk rasa anti-rezim) telah beralih dari demonstrasi damai ke tingkat konflik bersenjata. Petugas di semua tingkatan harus mengikuti instruksi ini dengan ketat," bunyi instruksi tertanggal 11 April tersebut seperti melansir The Irrawaddy, Sabtu 24 April.

Perintah tersebut merupakan dukungan retroaktif atas pembantaian 82 orang hanya dua hari sebelumnya di Bago, kota di utara Yangon, di mana tentara dan polisi menembaki pengunjuk rasa dengan peluru tajam, serta menggunakan granat senapan untuk menghancurkan penghalang jalan yang dibentengi dengan karung pasir.

Dua hari kemudian, pada 14 April, memo lain dibagikan. Bunyinya, "Semua pasukan keamanan darurat harus dipersenjatai secara penuh dan sistematis karena kerusuhan dapat meluas ke wilayah kendali Anda," merujuk protes yang sedang berlangsung di setiap kota di wilayah Sagaing, Mandalay, Yangon Bago dan di Negara Bagian Mon.

Sejak kudeta 1 Februari, para pemimpin militer Myanmar mendapat kecaman dari dalam dan luar negeri, karena melakukan kekejaman terhadap warganya sendiri. 

Untuk diketahui, sebelum kedua memo dikeluarkan, jumlah korban tewas sejak Februari hingga 9 April sudah mencapai angka 614 orang. Rezim mengklaim penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa dibenarkan untuk menghentikan apa yang disebut sebagai kerusuhan. 

Rezim militer Myanmar diketahui memanggil kembali sejumlah komandan militer mereka yang tangguh di medan perang, untuk memadamkan aksi unjuk rasa di kota-kota yang ada di Myanmar. 

Di antara mereka yang dipanggil kembali adalah Wakil Jenderal Senior Soe Win dan wakil menteri dalam negeri Letnan Jenderal Than Hlaing. Keduanya memainkan peran kunci dalam strategi rezim militer menghadapi pengunjuk rasa. Keduanya sekarang masuk dalam daftar sanksi Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Untuk memastikan para perwira militer beserta keluarganya tidak goyah dan membelot, rezim militer melarang mereka mendengarkan media asing dan media lokal yang melakukan kritik. Dua kali seminggu rezim menyosilisasikan jika kabar-kabar yang beredar sebagai kebohongan.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.