Perlawanan Bersenjata Meningkat, Rezim Militer Myanmar Datangi Etnis Bersenjata Terkuat UWSA
Prajurit kelompok etnis bersenjata UWSA. (Wikimedia Commons/Steve Sandford)

Bagikan:

JAKARTA - Perlawanan gigih dan meningkat yang diperlihatkan kelompok etnis bersenjata, membuat rezim militer Myanmar kerepotan karena jumlah pasukan keamanannya yang tewas terus bertambah.

Sebanyak 32 orang pasukan keamanan rezin militer Myanmar tewas pada akhir pekan lalu, setelah serangan mematikan yang dilakukan oleh polisi dan tentara Myanmar pada Jumat 9 April. 

Sedikitnya 14 petugas polisi Myanmar tewas dan dua hilang menyusul serangan terkoordinasi oleh kelompok-kelompok etnis bersenjata di sebuah pos polisi di Kotapraja Lashio, Negara Bagian Shan utara Sabtu pagi.

Sementara itu, sedikitnya 18 pasukan keamanan Myanmar tewas dalam serangan di Tamu, Wilayag Sagaing, perbatasan Myanmar - India Sabtu sore, setelah seorang warga sipil tewas ditembak di sana. 

Sebelum serangan pada Hari Sabtu, Kachin Independence State (KIA) dan Karen National Union (KNU), melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan rezim di negara bagian Kachin, Shan dan Wilayah Bago, sebagai reaksi atas pembunuhan warga sipil antikudeta militer Myanmar.

Rezim militer Myanmar yang sadar akan peningkatan perlawanan, mencoba menggandeng kelompok etnis bersenjata United Wa State Army (UWSA) dan Shan State Progressive Party (SSPP), sayap politik dari Shan State Army (SSA). 

Tak tanggung-tanggung, rezim militer Myanmar mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Yar Pyae dan Letnan Jenderal Aung Zaw Aye, komandan Biro Operasi Khusus No. 2 untuk mendatangi kedua etnis bersenjata tersebut. Melansir The Irrawaddy, Senin 12 April, kunjungan diyakini untuk mencari dukungan sekaligus menjelaskan perihal kudeta 1 Februari.

etnis bersenjata Myanmar
Wilayah teritori kelompok etnis bersenjata UWSA. (Wikimedia Commons/Paingpeace)

UWSA merupakan salah satu dari 18 kelompok etnis bersenjata di Myanmar. Disebut sebagai yang terkuat, UWSA menandatangani gencatan senjata dengan pemerintah pada tahun 1989. 

Etnis ini tak bergeming kendati korban tewas warga sipil akibat kudeta militer Myanmar terus bertambah. Sementara, 10 etnis bersenjata penandatangan gencatan senjata nasional (NCA) 2015 mengutuk aksi kudeta militer Myanmar. 

U Nyi Rang, juru bicara UWSA, mengatakan dia tidak berpartisipasi dalam pertemuan tersebut dan tidak dapat memberikan rincian tentang itu.

“Setahu saya, mereka menjelaskan mengapa kudeta terjadi,” katanya.

Ditanya apakah UWSA mengakui rezim tersebut sebagai pemerintah Myanmar, juru bicara Wa berkata dengan sederhana: "Kami memiliki hubungan baik yang telah lama ada (dengan militer),".

Namun, untuk semua hubungan baik yang telah berlangsung lama dengan militer, pemimpin Wa Bao Yu Xiang mengirim pesan ucapan selamat kepada Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi akhir tahun lalu setelah kemenangan elektoralnya.

Sementara, pada 8 April, saat dalam perjalanan ke markas SSPP di Wan Hai dengan helikopter, rombongan rezim militer Myanmar diserang oleh anggota kelompok bersenjata Shan, menyebabkan seorang pejabat di dalamnya terluka.

Juru bicara kelompok bersenjata SSPP mengkonfirmasi perjalanan dan serangan terhadap helikopter tersebut.

"Beberapa pasukan di darat secara tidak sengaja menembaknya, mengirim mereka kembali ke Lashio," kata Mayor Sai Phone Han.

Namun, rezim mengklaim dalam konferensi pers pada Hari, Jumat bahwa diskusi damai antara militer dan SSPP tetap berjalan.

"Mereka mengakui penembakan itu. Tapi kami bisa mengadakan diskusi damai. Saya harus mengatakan itu berhasil," tukas Juru Bicara Rezim Militer Myanmar Brigjen Zaw Min Tun.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.