Bagikan:

JAKARTA - Penolakan China untuk mengutuk rezim militer Myanmar, dinilai lembaga pemikir Chatham House yang berbasis di Inggris, membahayakan masa depan kepentingan China di Myanmar. 

Peneliti senior Chatham House Gareth Price dalam laporan penelitiannya menyebut, kurangnya kritik terhadap pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar, menunnjukkan kepentingan pribadi China, terlepas dari siapa pun yang berkuasa di Naypyidaw (ibu kota Myanmar).

"China mungkin merasa, apa pun hasilnya, China akan terus menjadi mitra utama Myanmar. Tetapi, perasaan itu mungkin salah penilaian karena, jika militer dipaksa untuk mundur, itu dapat mengakibatkan kemiringan anti-China yang lebih jelas, mengancam kepentingan strategisnya," jelas Price seperti melansir The Irrawaddy.

"Sikap 'laissez-faire' China sejauh ini membuat mereka terancam, karena beberapa pabrik China telah dibakar dan pengunjuk rasa mengancam akan meledakkan jaringan pipa. Optik yang mengelilingi perlindungan de facto China terhadap militer tidak baik secara internasional," papar analis risiko politik itu.

Myanmar adalah kunci dari Belt and Road Initiative (BRI) China, yang berpotensi memberi Beijing akses ke Samudra Hindia melalui Zona Ekonomi Khusus Kyaukphyu di Negara Bagian Rakhine.

Sejak kudeta 1 Februari, China dan Rusia telah memblokir tindakan di Dewan Keamanan PBB. Sentimen anti-China dengan cepat meningkat di Myanmar dan pengunjuk rasa menyerukan penentangan terhadap semua proyek dan impor China.

Beijing telah menyerukan dialog dan menyebut kudeta itu sebagai 'urusan internal', dengan mengatakan masyarakat internasional tidak boleh ikut campur.

"Tetapi, jika China berhenti 'tidak ikut campur', ini dapat memungkinkan tindakan internasional yang lebih luas dan, meskipun mungkin mengancam kepentingan China di Myanmar dalam jangka pendek, kemungkinan akan memajukan mereka dalam jangka panjang," terang Price.

Menurutnya, para jenderal Myanmar tidak berniat menyerahkan kekuasaan tetapi, tanpa persetujuan China, mereka menghadapi tantangan signifikan untuk mencoba mempertahankannya.

“China perlu menyadari, kebijakan tanpa campur tangan 'satu ukuran cocok untuk semua', tidak akan memenangkan banyak teman, dan apa pun yang dimenangkannya cenderung menjadi jenis yang kurang menyehatkan,” tulisnya.

Lebih jauh Price memperingatkan hal yang lebih mengkhawatirkan untuk China, yakni bersatunya seluruh etnis bersenjata Myanmar untuk menentang rezim militer.

"Perlu juga dipertimbangkan situasi di Myanmar mungkin masih akan mengarah ke perang saudara, terutama mengingat sikap yang diambil oleh kelompok etnis. Itu juga akan mengancam kepentingan China," tukas Price.

Ketegangan antara rezim militer Myanmar dengan etnis bersenjata meningkat, terutama di Negara Bagian Kachin dan Shan, di mana banyak proyek China direncanakan, termasuk tiga zona kerja sama ekonomi lintas batas, jalur kereta Muse-Mandalay, dan Zona Industri Myitkyina.

Pertempuran antara Kachin Independence Army (KIA) dan militer Myanmar dilaporkan terjadi di seluruh Kachin dan negara bagian Shan di utara. KIA melancarkan serangan terhadap posisi militer dan polisi, dengan mengatakan bahwa mereka mendukung para pengunjuk rasa. 

Selain itu, ketegangan meningkat dengan Karen National Union (KNU) di distrik Papun, Nyaunglebin dan Thaton. KNU mendesak militer untuk membebaskan semua tahanan dan menghentikan semua tindakan keras terhadap pengunjuk rasa damai.

Sementara, Aliansi Persaudaraan  yang meliputi Myanmar National Democratic Alliance Army, Ta’ang National Liberation Army dan  Arakan Army, mengutuk rezim militer, memperingatkan bahwa mereka siap untuk bergabung dengan semua etnis minoritas untuk melawan rezim jika pembunuhan pengunjuk rasa terus berlanjut.

Menyusul peringatan Persaudaraan Persaudaraan, China dilaporkan telah meminta pertemuan dengan rezim terkait kekhawatiran yang berkembang tentang keamanan jaringan pipa minyak dan gasnya. China menekan rezim untuk memperkuat keamanan jaringan pipa Migas, terutama di Negara Bagian Shan utara di mana ketegangan sangat tinggi.

"Jika China mengambil pendekatan yang lebih kritis dan mendorong militer Myanmar untuk mundur, kemungkinan kudeta dapat dilihat sebagai penyimpangan sementara. Semakin banyak orang mati, semakin tidak masuk akal hal ini, meningkatkan kemungkinan perang saudara," pungkas Price.

Diketahui, berdasarkan data Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), dilaporkan setidaknya 564 warga sipil tewas dalam selama aksi unjuk rasa antikudeta militer Myanmar.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.