JAKARTA - Sedikitnya 6 ribu pengungsi internal di lima kamp sepanjang perbatasan Negara Bagian Shan, Myanmar dengan Thailand menghadapi ancaman serangan udara rezim militer Myanmar.
Komite Perbatasan Militer Kotapraja Tachileik pekan lalu mengirim surat kepada mitranya wilayah perbatasan Mae Sai, Thailand, guna menginformasikan serangan yang akan datang di kawasan tersebut, sebut Komite Pengungsi Negara Bagian Shan-Perbatasan Thailand (SSRC-TB) mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Rezim Militer Myanmar merencanakan serangan di pangkalan yang dikendalikan oleh Dewan Pemulihan Shan State/Shan State Army (RCSS/SSA) di sepanjang perbatasan Thailand, kata surat bertanggal 30 Maret itu.
Serangan tersebut diperkirakan akan dilakukan segera, mengingat sikapt etnis bersenjata RCSS/SSA. Komite perbatasan militer juga meyakinkan pihak berwenang Thailand, tidak ada amunisi militer Myanmar yang akan menyeberang ke wilayah Thailand selama serangan, kata pernyataan SSRC-TB.
Pangkalan RCSS/SSA berada di seberang tiga provinsi utara Thailand, yakni Chiang Mai, Chiang Rai dan Mae Hong Son. Sementara, lima kamp pengungsian juga terletak di wilayah ini, yakni Gawng Murng Murng, Loi Tai Leng, Loi Lam, Loi Sarm Sip, dan Loi Kaw Wan.
SSRC-TB terdiri dari perwakilan dari lima kamp ini, serta satu kamp pengungsi di Thailand. SSRC-TB sangat khawatir dan prihatin terhadap keselamatan para pengungsi yang membangun bungker bawah tanah darurat, untuk berlindung dari serangan udara.
"Sebagian besar pengungsi meninggalkan rumah mereka sekitar 20 tahun lalu karena konflik bersenjata. Mereka tidak punya tempat yang aman untuk pergi jika militer melancarkan serangan," perwakilan SSRC-TB Sai Leng mengatakan kepada Myanmar Now.
Pernyataan Sai merujuk pada kampanye bumi hangus oleh militer Myanmar pada akhir 1990-an yang membuat sekitar 300.000 orang mengungsi di Negara Bagian Shan .
Sai menambahkan, pesawat militer terlihat terbang di atas Loi Tai Leng dalam beberapa hari terakhir, meningkatkan kekhawatiran rezim telah mengumpulkan informasi untuk target serangan udara.
SSRC-TB telah meminta agar pihak berwenang Thailand mengizinkan para pengungsi untuk menyeberangi perbatasan dan mencari perlindungan jika terjadi serangan militer terhadap komunitas mereka.
"Kami ingin meminta dalam keadaan darurat, pemerintah Thailand mengizinkan orang-orang ini datang dan tinggal di Thailand, setidaknya dalam jangka pendek, jika ada serangan militer." kata Sai Leng.
Untuk diketahui, RCSS/SSA adalah di antara 10 kelompok etnis bersenjata yang menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata Nasional sebelum kudeta militer Myanmar.
Seperti etnis bersenjata lainnya, RCSS/SSA mendukung aksi pembangkangan sipil, mengecam tindakan rezim militer Myanmar yang menghadapi pengunjuk rasa dengan kekerasan dan senjata mematikan, sehingga menyebabkan lebih dari 560 orang tewas, termasuk 47 anak-anak.
"Para pemimpin dewan kudeta harus dimintai pertanggungjawaban. Dan, 10 kelompok bersenjata dengan tegas mendukung rakyat Myanmar," kata Pemimpin RCSS/SSA Jenderal Yawd Serk seperti dilansir Bangkok Post.
BACA JUGA:
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.